A.
Pendahuluan
Kebahagiaan dalam keluarga merupakan
keinginan yang diharapkan semua manusia, dan semua itu akan terasa disaat
sebuah keluarga menjalankan apa yang menjadi kewajiban dan hak masing – masing
baik suami ataupun istri dalam sebuah keluarga. Oleh karena itu, segala tingkah
laku, gerak langkah, selalu berorientasi kearah itu walaupun dalam aplikasi
memakai cara yang berlawanan dengan tujuan tadi.
Namun pada kenyataannya tidak sedikit
dalam sebuah keluarga tidak selalu tenang dan menyenangkan. Ada kalanya
kehidupannya begitu ruwet dan memusingkan. Hal tersebut terjadi karena peran
dan fungsi mereka khususnya bagi suami ataupun istri sudah tidak melaksanakan
apa yang menjadi tanggung jawab mereka masing – masing.
Terlepas dari kewajiban dan hak seorang
istri terhadap suami atau sebaliknya, pemakalah pada kesempatan kali ini tidak
akan membahas mengenai kewajiban dan hak tersebut akan tetapi akan membahas
mengenai nusyuz dan syiqaq. Kedua masalah tersebut akan terjadi
disaat suami atau istri tidak melaksanakan apa yang menjadi kewajiban dan hak
mereka masing - masing dalam sebuah keluarga.
B.
Pembahasan
1.
Nusyuz
Arti kata nusyuz adalah membangkang. Menurut Slamet Abidin
dan H. Aminuddin, nusyuz berarti durhaka. Maksudnya, seorang istri melakukan
perbuatan yang menentang suami tanpa alasan yang yang dapat diterima syara’. Ia
tidak menaati suaminya atau menolak diajak ketempat tidurnya.[1]
Dalam kitab Fath al Mu’in disebutkan termasuk perbuatan nusyuz,
jika istri enggan bahkan tidak mau memenuhi ajakan suami, sekaipun ia
sedang sibuk mengerjakan sesuatu. Adapun beberapa perbuatan yang dilakukan
istri, yang termasuk nusyuz, antara lain sebagai berikut:[2]
a.
Istri tidak mau pindah mengikuti suami untuk menempati rumah yang
telah disediakan sesuai dengan kemampuan suami, atau istri meninggalkan rumah
tanpa seizin suami
b.
Apabila keduanya tinggal di rumah istri atas seizin istri, kemudian
pada suatu ketika istri melarangnya untuk masuk ke rumah itu dan bukan karena
hendak pindah rumah yang disediakan oleh suami
c.
Istri menolak ajakan suaminya untuk menetap di rumah yang
disediakannya tanpa alasan yang pantas
d.
Apabila istri berpergian tanpa suami atau mahramnya walaupun
perjalanan itu wajib, seperti haji, karena perjalanan perempuan tidak dengan
suami atau mahramnya termasuk maksiat.
Apabila suami melihat bahwa istri akan berbuat hal-hal semacam itu,
maka ia harus memberi nasihat dengan baik, kalau ternyata istri masih berbuat
durhaka hendaklah suami berpisah ranjang. Kalau istri masih berbuat semacam itu
dan meneruskan kedurhakaannya, maka suami boleh memukulnya dengan syarat tidak
melukai badannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt:
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan
nusyuznya,[3]
Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan
pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.[4]
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.(QS. an-Nisa’: 34)[5]
Berdasarkan uraian
di atas, maka dapat disimpulkan bahwa durhakanya sang istri (nusyuz) itu
ada tiga tingkatan:
a.
Ketika tampak tanda-tanda kedurhakaannya suami berhak memberi
nasihat kepadanya.
b.
Sesudah nyata kedurhakaannya, suami berhak untuk berpisah tidur
dengannya.
c.
Kalau dia masih durhaka, suami berhak memukulnya.
Dalam
sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Daud disebutkan:
عَنْ حَكِيمِ بْنِ مُعَاوِيَةَ الْقُشَيْرِيِّ
عَنْ أَبِيهِ قَالَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا
عَلَيْهِ قَالَ أَنْ تُطْعِمَهَا
إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ
أَوْ اكْتَسَبْتَ وَلَا تَضْرِبْ الْوَجْهَ وَلَا تُقَبِّحْ وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا
فِي الْبَيْت.
“Dari
Hakim bin Mu’awiyah al-Qusyairy, dari ayahnya, ia berkata, “Saya bertanya,
wahai Rasulullah apakah hak seorang istri pada suaminya? Beliau bersabda.
“Hendaklah kamu memberi makan dia jika engkau makan, berilah pakaian kepadanya
seperti cara engkau berpakaian. Jangan pukul mukanya, jangan engkau
menjelekkannya, dan jangan engkau meninggalkannya kecuali masih dalam
serumah..” (HR. Abu Daud).
Dari ayat dan
juga hadis tersebut kita bisa menangkap pesan bahwa Islam tidak menghendaki
adanya kekerasan dalam rumah tangga. Meskipun terdapat ketidaksesuaian antara
suami istri, Islam mengajarkan cara-cara yang santun sebagai solusi guna
melindungi hak-hak perempuan dalam rumah tangga. Hal ini dibuktikan dengan
adanya perintah memukul bagi seorang suami untuk istrinya yang melakukan
pembangkangan sebagai solusi terakhir (ultimum remidium) dengan tidak
menggunakan kekerasan. Pemukulan di sini difungsikan sebagai ta’dib (pendidikan)
bukan penyiksaan.
Pemukulan adalah
hukuman paling keras dan hanya diperbolehkan bila terjadi perlakuan begitu
jelek dan tak tertahankan lagi. Dalam hal ini, jika batasan dilanggar maka
termasuklah dalam kekerasan atau kekejaman laki-laki dalam rumah tangga atau
biasa disebut KDRT (kekerasan dalam rumah tangga). Sehingga wanita berhak minta
bantuan hukum atas tindakan suaminya. [6]
Adanya poin
ketiga mengenai diperbolehkanlah suami memukul istri menjadi banyak
kesalahpahaman terjadi. Padahal, Islam melarang masing-masing suami dan istri
mengabaikan atau melanggar hak-hak pasangan yang mengakibatkan timbulnya
kekerasan. Beberapa ajaran yang melarang terjadinya kekerasan itu adalah
sebagai berikut[7]
:
a)
Larangan melakukan kekerasan ekonomi, yakni menelantarkan istri dan
anaknya. Berdasar QS Ath Thalaq ayat 6, Islam menyatakan bahwa nafkah terhadap
istri tidaklah terbatas sewaktu masih terikat tali pernikahan saja, bahkan
setelah ceraipun suami masih harus memberikan makanan dan tempat tinggal dan
mencukupi kebutuhan anaknya.[8]
b)
Larangan melakukan kekerasan seksual. Dalam QS al Baqarah ayat 187
yang digambarkan seperti pakaian yang satu bagi lainnya, maka keduanya
mempunyai peran saling memberikan kehangatan cinta dan kasih sayang serta tidak
boleh melakukan kekerasan.
c)
Larangan melakukan kekerasan psikologis, QS an-Nisa’ ayat 19, suami
diperintahkan agar bergaul dengan istrinya secara patut, bertutur kata dengan
baik dan bersikap baik yang menyenangkan istri. Perselingkuhan merupakan
penyebab banyak tindakan kekerasan seperti kekerasan ekonomi, psikologi bahkan
fisik. Maka Islampun melarang perselingkuhan karena perbuatan ini mendekati
perzinaan.
d)
Larangan melakukan kekerasan fisik, prinsip Islam tentang pergaulan
suami istri adalah mu’asyarah bil ma’ruf yang
perlu diwujudkan pula dalam perbuatan untuk menghindarkan diri dari kekejaman
fisik. [9]
Akibat
kedurhakaan terhadap suami maka hilanglah hak istri yaitu menerima uang belanja,
pakaian dan pembagian waktu, berarti dengan adanya durhaka istri., maka ketiga
perkara tersebut menjadi tidak wajib atas suami dan istri tidak berhak
menuntut.[10]Firman
allah Swt dalam Q.s Al-Baqarah: 228 yang artinya: “Dan para wanita mempunyai
hak yang seimbang dengan kewajiban (terhadap suaminya) menurut cara yang
ma’ruf.” Apabila suami sudah menempuh tiga cara tersebut di atas namun belum
menemukan solusi maka, suami diperbolehkan meminta bantuan pihak ketiga dari
kedua belah pihak untuk menengahi perselisihan ini.[11]
Sebagai seorang
istri juga harus menampilkan sikap taat terhadap suami demi menjaga
keharmonisan dalam rumah tangga. Ciri-ciri perempuan muslimah yang akan menjadi
istri yang teramat istimewa adalah apa yang digambarkan dalam perkataan Ummu
Iyas dalam kumpulan nasihat dan wasiat untuk putrinya sebelum naik ke
pelaminan. Pada saat itu, Ummu Iyas berkata: “Wahai putriku, seandainya seorang
perempuan tidak mau menikah hanya karena keluarganya kaya, niscaya kamu akan
menjadi orang yang paling berkecukupan. Akan tetapi, permpuan telah ditakdirkan
untuk mendampingi laki-laki, dan begitu pula laki-laki telah diciptakan untuk
mengayomi perempuan. Oleh karena itu, wahai putriku jagalah baik-baik sepuluh
nasihat yang akan menjadikanmu sekuntum bunga yang mekar.[12]
a.
Yang pertama dan kedua;
perlakukanlah suamimu dengan ikhlas sampai ia merasa puas. Dengarkanlah
ucapannya dan taatlah kamu kepadanya.
b.
Yang ketiga dan keempat;
jagalah penciuman dan pandangannya, jangan sampai engkau membiarkannya melihat
hal-hal yang tidak menyenagkan darimu dan jangan sampai ia mencium bau yang
tidak sedap darimu.
c.
Yang kelima dan keenam;
jagalah suamimu agar terlelap dalam tidur dan perhatikanlah waktu makannya
karena orang yang kelaparan biasanya cepat terbakar emosinya, sedangkan kurang
tidur akan menyulut kemarahannya.
d.
Yang ketujuh dan kedelapan; jagalah harta dan keluarganya dengan baik.
e.
Yang kesembilan dan kesepuluh; berhati-hatilah, jangan sampai kau melalaikan perintahnya dan
menyebarkan rahasianya., amka suatu saat engkau tidak akan selamat dari
pembalasannya. Aku hanya menasihatkan kepadamu, janganlah engkau bergembira
ketika suamimu sedang dalam kesedihan. Dan sebaliknya janganlah engkau bersedih
ketika suamimu tengah bergembira.[13]
Dengan
mengimplementasikan nasihat-nasihat tersebut dalam kehidupan berumah tangga
akan tercipta keharmonisan, kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah,
warahmah seperti yang dikehendaki dalam ajaran Islam.
Suami Nusyuz
Nusyuz juga
ada di kalangan kaum laki-laki, sebagaimana yang tertera dalam al-Quran:
ÈbÎ)urîor&zöD$#ôMsù%s{.`ÏB$ygÎ=÷èt/#·qà±çR÷rsÎ
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz[14]
atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak Mengapa bagi keduanya
mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya,[15]
dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya
kikir.[16]
dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari
nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa
yang kamu kerjakan.
Nusyuznya suami
ialah acuh terhadap istrinya, tidak mencintainya. Apabila seorang istri dengan
yakin melihat suaminya nusyuz kepada dirinya maka keduanya mencari penyelesaian
yang mereka setujui bersama, mau meneruskan perkawinannya dengan baik atau
bercerai dan melepasnya dengan baik pula.[17]
Pernikahan
bukanlah soal kekuasaan suami terhadap istri atau sebaliknya. Pernikahan adalah
kehidupan bersama yang dipertemukan oleh amanat dan tanggung jawab.
Masing-masing pihak harus saling membahagiakan dan tidak memaksakan kehendak
pribadinya agar pernikahan tetap langgeng dan menghasilkan buah hati yang baik
dan diberkati. Kesetiaan terhadap kehidupan rumah tangga adalah kesetiaan
terluhur dan tersuci.
2.
Syiqaq
Syiqaq adalah
krisis memuncak yang terjadi antara suami istri sedemikian rupa, sehingga
antara suami istri terjadi pertentangan pendapat dan pertengkaran, menjadi dua
pihak yang tidak mungkin dipertemukan dan kedua belah pihak tidak dapat
mengatasinya.[18]
Firman Allah
dalam QS. an-Nisa’: 35 menyatakan:
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka
kirimlah seorang hakam[19]
dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua
orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik
kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal”.
Menurut firman
Allah tersebut, jika terjadi kasus syiqaq antara suami istri, maka diutus hakam
dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri untuk mengadakan penelitian
dan penyelidikan tentang sabab musabab terjadi syiqaq dimaksud serta berusaha
mendamaikannya, atau mengambil prakarsa putusnya perkawinan kalau sekiranya
jalan inilah yang sebaik-baiknya.
Terhadap kasus
syiqaq ini, bertugas menyelidiki dan mencari hakikat permasalahannya, sebab
musabab timbulnya persengketaan, berusaha seberapa mungkin untuk mendamaikan
kembali agar suami istri kembali hidup bersama dengan sebaik-baiknya, kemudian
jika jalan peradamain itu tidak mungkin ditempuh, maka kedua hakam berhak
mengambil inisiatif untuk menceraikannya, kemudian atas dasar prakarsa hakam
ini maka hakim dengan keputusannya menetapkan perceraian tersebut.[20]
Dari ayat di
atas bahwa syiqaq tidak memberi hak
talak langsung kepada salah satu dari suami ataupun istri, tetapi harus menempuh
cara perdamaian yang ditetapkan.[21]
Pertama secara intern antara keduanya dengan musyawarah, kedua agak keras
dengan melibatkan mertua dan ketiga dengan masing-masing harus menunjuk hakim
yang bertugas mendamaikan perselisihan mereka, seperti mediasi dengan mediator.[22]
Kedudukan cerai
sebab kasus syiqaq adalah bersifat ba’in. Artinya antara bekas suami istri
hanya dapat kembali dengan akad nikah yang baru.[23]
Perkara Syiqaq
di Indonesia
Sebagaimana
halnya ahli fikih, Pengadilan Agama di Indonesia juga terdapat dua pendapat
dalam masa syiqaq. Mula-mula pendapat yang pertama yang banyak dianut
(hakam dengan arti hakim), bahkan Mahkamah Islam Tinggi mengikuti kedua
pendapat ini dalam keputusannya 12 Januari 1939 no. 3 dan tanggal 10 Maret 1951
no. 6.[24]
Akan tetapi,
sampai sejauh ini belum diketahui sikap Mahkamah Tinggi Islam apabila hakam-hakam
yang ditunjuk ternyata tidak sanggup mengambil keputusan. Selanjutnya
Pengadilan Agama DIY, dalam surat keputusannya tanggal 10 Juni 1961 no. 489,
memberikan keputusan perceraian terhadap perkara syiqaq apabila dua
orang hakam yang diangkat tidak mampu memberikan suatu keputusan.[25]
Dengan
keputusan ini, kemungkinan berlarut-larut masalah dan kesulitan yang akan
dihadapi suami istri yang sedang bersengketa dapat dihindari, dan tidak
memperburuk keadaan.[26]
Dalam pada itu,
Pengadilan Agama Surabaya dengan surat keputusannya no. 532 tahun1985,
menetapkan perceraian apabila dua orang hakam pihak tergugat (suami) tidak
pernah hadir pada sidang-sidang pengadilan yang diadakan untk menyelesaikan
perkara tersebut.[27]
Hakamain
Hakam artinya juru damai. Hakamain adalah juru damai yang dikirim
oleh dua belah pihak suami istri apabila terjadi perselisihan antara keduanya,
tanpa diketahui keadaan siapa yang benar dan siapa yang salah di antara kedua
suami istri tersebut.[28]
Hal ini selaras dengan apa yang termaktub dalam al-Quran surat an-Nisa’ ayat
35.
Syarat-syarat Hakamain
Orang yang
ditunjuk sebagai hakam hendaklah:
a.
Berlaku adil di antara pihak yang bersengketa
b.
Mengadakan perdamaian antara kedua suami istri dengan ikhlas
c.
Disegani oleh kedua pihak suami istri
d.
Hendaklah berpihak pada yang teraniaya, apabila pihak yang lain
tidak mau berdamai.[29]
3.
Menjernihkan kehidupan suami istri dari perselisihan[30]
a) Pemilihan jodoh, proses pemilihan sangatlah penting demi kewaspadaan
sebelum keseriusan dengan saling mengenal. Hingga terwujudlah kecocokaan antara
keduanya.
b) Waspada terhadap cemburu dan keetidakpedulian. Hubungan haruslah berasas
saling percaya, sehingga kehidupan menjadi tenang, tentram dan serasi. Jangan
biarkan prasangka melilit benak, karena akan mengendorkan cinta. Rasa peduli
adalah kewajiban keduanya guna menjaga ikatan rasa yang ada, karena sikap tak
lain adalah perwujudan dari rasa yang ada.
c) Memenuhi kebutuhan, segala kebutuhan baik suami ataupun istri haruslah
dipenuhi karena kebutuhan suami adalah kewajiban istri dan hak suami begitu
pula sebaliknya.
d) Dilarang meninggalkan terlalu lama, karena perpisahan akan menimbulkan
rasa sepi dan renggangnya ikatan, jika terlalu lama maka akan menjadi sebuah
keresahan.
e) Dilarang membantah kewajiban, melayani suami adalang kewajiban istri maka
istri dilarang menolak jika tanpa alasan ang jelas.
f) Istri dilarang puasa sunnah kecuali dengan ijin suami
g) Melakukan kewajiban haruslah dengan ikhlas hati terutama ketika
bersenggama, karena hal ini berpengaruh kepada sikap sehari-hari.[31]
h) Menjauhi yang merisaukan hati, kepada istri janganlah melakukan hal yang
tidak disenangi suami begitu pula sebaliknya. Karena kesalahan yang diulang
lagi dan lagi akan membuat jenuh pasangan dan emosi.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin,
Slamet dan H. Aminuddin, 1999, Fikih Munakahat, Bandung: Pustaka Setia
Ahmad al
Musayyar,Sayyid, 2008,Fiqih Cinta Kasih,
Rahasia Kebahagiaan Rumah Tangga, Surabaya : Erlangga
Al-Maududi
Fazl Ahmed,Abul A’la, 1987,Pedoman
Perkawinan Dalam Islam, Jakarta : darul Ulum Press
Daly,Peunoh, 1988,Hukum Perkawinan Islam, Jakarta : Bulan Bintang
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, Semarang:
al Waah
Mutawalli
as-Sya’rawi,Syaikh, 2005,Fikih Perempuan Muslimah Busana dan Perhiasan,
Penghormatan atas Perempuan, Sampai Wanita Karir, Jakarta: Amzah
Rahman
Ghazaly,Abdur, 2006, Fikih Munakahat, Jakarta: Prenada Media
Salim,Agus,
1985, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Pustaka Amani
Siddiq,Abdullah, 1968, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta : Tintamas
Sohari
Sahrani,Tihami, 2010, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta:
Raja Grafindo Persada
Suhandjati
Sukri,Sri, 2004, Islam Menentang
Kekerasan terhadap Istri, Yogyakarta : Gama Media
Utsman,
Muhammad, 1994,Sulitnya Berumah Tangga,
Jakarta : Gema Insani Press
[1] H. M. A.
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2010, h. 185
[2]Slamet Abidin
dan H. Aminuddin, Fikih Munakahat, Bandung: Pustaka Setia, 1999, h. 185
[3]Nusyuz yaitu meninggalkan kewajiban
bersuami istri. Nusyuz dari pihak istri seperti meninggalkan rumah tanpa
izin suaminya.
[4]Maksudnya: untuk memberi peljaran kepada isteri yang dikhawatirkan
pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat, bila nasehat tidak
bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat
juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan
bekas. bila cara pertama Telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang
lain dan seterusnya.
[5]Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, Semarang: al
Waah, h.
[6]Abul A’la Al-Maududi Fazl Ahmed, Pedoman
Perkawinan Dalam Islam, Jakarta : darul Ulum Press, 1987, hlm. 32
[7]Sri Suhandjati Sukri, Islam
Menentang Kekerasan terhadap Istri, Yogyakarta : Gama Media, 2004, hlm. 82
[10]Sayyid Ahmad al Musayyar, Fiqih
Cinta Kasih, Rahasia Kebahagiaan Rumah Tangga, Surabaya : Erlangga, 2008,
hlm. 305
[12]Syaikh
Mutawalli as-Sya’rawi, Fikih Perempuan Muslimah Busana dan Perhiasan,
Penghormatan atas Perempuan, Sampai Wanita Karir, Jakarta: Amzah, 2005, h.
178
[13]Ibid
[14]Nusyuz: yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. nusyuz dari
pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya. nusyuz dari pihak
suami ialah bersikap keras terhadap isterinya; tidak mau menggaulinya dan tidak
mau memberikan haknya.
[15]seperti isteri bersedia beberapa haknya dikurangi Asal suaminya mau
baik kembali.
[16]Maksudnya: tabi'at manusia itu tidak mau melepaskan sebahagian
haknya kepada orang lain dengan seikhlas hatinya, kendatipun demikian jika
isteri melepaskan sebahagian hak-haknya, Maka boleh suami menerimanya.
[17]Agus Salim, Risalah
Nikah Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Pustaka Amani, 1985, h. 160
[18]Abdur Rahman
Ghazaly, Fikih Munakahat, Jakarta: Prenada Media, 2006, h. 241
[21]Abdullah Siddiq, Hukum Perkawinan
Islam, Jakarta : Tintamas, 1968, hlm. 74
[22]Peunoh Daly, Hukum Perkawinan
Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1988, hlm. 243
[23]Abdullah Siddiq,Op.cit, h. 243
[24]H. M. A. Tihami
dan Sohari Sahrani, op.cit, h. 189
[25]Ibid
[26]Ibid
[27]Ibid
[30]Muhammad Utsman, Sulitnya Berumah
Tangga, Jakarta : Gema Insani Press, 1994, hlm. 47