Recent Posts

“Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.” (QS. al-Anbiya’: 7)

Selasa, 23 April 2013

NUSYUZ DAN SYIQAQ




A.    Pendahuluan
Kebahagiaan dalam keluarga merupakan keinginan yang diharapkan semua manusia, dan semua itu akan terasa disaat sebuah keluarga menjalankan apa yang menjadi kewajiban dan hak masing – masing baik suami ataupun istri dalam sebuah keluarga. Oleh karena itu, segala tingkah laku, gerak langkah, selalu berorientasi kearah itu walaupun dalam aplikasi memakai cara yang berlawanan dengan tujuan tadi. 
Namun pada kenyataannya tidak sedikit dalam sebuah keluarga tidak selalu tenang dan menyenangkan. Ada kalanya kehidupannya begitu ruwet dan memusingkan. Hal tersebut terjadi karena peran dan fungsi mereka khususnya bagi suami ataupun istri sudah tidak melaksanakan apa yang menjadi tanggung jawab mereka masing – masing.
Terlepas dari kewajiban dan hak seorang istri terhadap suami atau sebaliknya, pemakalah pada kesempatan kali ini tidak akan membahas mengenai kewajiban dan hak tersebut akan tetapi akan membahas mengenai nusyuz dan syiqaq. Kedua masalah tersebut akan terjadi disaat suami atau istri tidak melaksanakan apa yang menjadi kewajiban dan hak mereka masing - masing dalam sebuah keluarga.
B.     Pembahasan
1.      Nusyuz
Arti kata nusyuz adalah membangkang. Menurut Slamet Abidin dan H. Aminuddin, nusyuz berarti durhaka. Maksudnya, seorang istri melakukan perbuatan yang menentang suami tanpa alasan yang yang dapat diterima syara’. Ia tidak menaati suaminya atau menolak diajak ketempat tidurnya.[1]
Dalam kitab Fath al Mu’in disebutkan termasuk perbuatan nusyuz, jika istri enggan bahkan tidak mau memenuhi ajakan suami, sekaipun ia sedang sibuk mengerjakan sesuatu. Adapun beberapa perbuatan yang dilakukan istri, yang termasuk nusyuz, antara lain sebagai berikut:[2]
a.    Istri tidak mau pindah mengikuti suami untuk menempati rumah yang telah disediakan sesuai dengan kemampuan suami, atau istri meninggalkan rumah tanpa seizin suami
b.    Apabila keduanya tinggal di rumah istri atas seizin istri, kemudian pada suatu ketika istri melarangnya untuk masuk ke rumah itu dan bukan karena hendak pindah rumah yang disediakan oleh suami
c.    Istri menolak ajakan suaminya untuk menetap di rumah yang disediakannya tanpa alasan yang pantas
d.   Apabila istri berpergian tanpa suami atau mahramnya walaupun perjalanan itu wajib, seperti haji, karena perjalanan perempuan tidak dengan suami atau mahramnya termasuk maksiat.
Apabila suami melihat bahwa istri akan berbuat hal-hal semacam itu, maka ia harus memberi nasihat dengan baik, kalau ternyata istri masih berbuat durhaka hendaklah suami berpisah ranjang. Kalau istri masih berbuat semacam itu dan meneruskan kedurhakaannya, maka suami boleh memukulnya dengan syarat tidak melukai badannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt:

Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya,[3] Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.[4] Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.(QS. an-Nisa’: 34)[5]
               
            Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa durhakanya sang istri (nusyuz) itu ada tiga tingkatan:
a.       Ketika tampak tanda-tanda kedurhakaannya suami berhak memberi nasihat kepadanya.
b.      Sesudah nyata kedurhakaannya, suami berhak untuk berpisah tidur dengannya.
c.       Kalau dia masih durhaka, suami berhak memukulnya.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Daud disebutkan:
 عَنْ حَكِيمِ بْنِ مُعَاوِيَةَ الْقُشَيْرِيِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ قَالَ أَنْ تُطْعِمَهَا
 إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ أَوْ اكْتَسَبْتَ وَلَا تَضْرِبْ الْوَجْهَ وَلَا تُقَبِّحْ وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْت.

Dari Hakim bin Mu’awiyah al-Qusyairy, dari ayahnya, ia berkata, “Saya bertanya, wahai Rasulullah apakah hak seorang istri pada suaminya? Beliau bersabda. “Hendaklah kamu memberi makan dia jika engkau makan, berilah pakaian kepadanya seperti cara engkau berpakaian. Jangan pukul mukanya, jangan engkau menjelekkannya, dan jangan engkau meninggalkannya kecuali masih dalam serumah..” (HR. Abu Daud).

Dari ayat dan juga hadis tersebut kita bisa menangkap pesan bahwa Islam tidak menghendaki adanya kekerasan dalam rumah tangga. Meskipun terdapat ketidaksesuaian antara suami istri, Islam mengajarkan cara-cara yang santun sebagai solusi guna melindungi hak-hak perempuan dalam rumah tangga. Hal ini dibuktikan dengan adanya perintah memukul bagi seorang suami untuk istrinya yang melakukan pembangkangan sebagai solusi terakhir (ultimum remidium) dengan tidak menggunakan kekerasan. Pemukulan di sini difungsikan sebagai ta’dib (pendidikan) bukan penyiksaan.
Pemukulan adalah hukuman paling keras dan hanya diperbolehkan bila terjadi perlakuan begitu jelek dan tak tertahankan lagi. Dalam hal ini, jika batasan dilanggar maka termasuklah dalam kekerasan atau kekejaman laki-laki dalam rumah tangga atau biasa disebut KDRT (kekerasan dalam rumah tangga). Sehingga wanita berhak minta bantuan hukum atas tindakan suaminya. [6]
Adanya poin ketiga mengenai diperbolehkanlah suami memukul istri menjadi banyak kesalahpahaman terjadi. Padahal, Islam melarang masing-masing suami dan istri mengabaikan atau melanggar hak-hak pasangan yang mengakibatkan timbulnya kekerasan. Beberapa ajaran yang melarang terjadinya kekerasan itu adalah sebagai berikut[7] :
a)      Larangan melakukan kekerasan ekonomi, yakni menelantarkan istri dan anaknya. Berdasar QS Ath Thalaq ayat 6, Islam menyatakan bahwa nafkah terhadap istri tidaklah terbatas sewaktu masih terikat tali pernikahan saja, bahkan setelah ceraipun suami masih harus memberikan makanan dan tempat tinggal dan mencukupi kebutuhan anaknya.[8]
b)      Larangan melakukan kekerasan seksual. Dalam QS al Baqarah ayat 187 yang digambarkan seperti pakaian yang satu bagi lainnya, maka keduanya mempunyai peran saling memberikan kehangatan cinta dan kasih sayang serta tidak boleh melakukan kekerasan.
c)      Larangan melakukan kekerasan psikologis, QS an-Nisa’ ayat 19, suami diperintahkan agar bergaul dengan istrinya secara patut, bertutur kata dengan baik dan bersikap baik yang menyenangkan istri. Perselingkuhan merupakan penyebab banyak tindakan kekerasan seperti kekerasan ekonomi, psikologi bahkan fisik. Maka Islampun melarang perselingkuhan karena perbuatan ini mendekati perzinaan.
d)     Larangan melakukan kekerasan fisik, prinsip Islam tentang pergaulan suami istri adalah mu’asyarah bil ma’ruf yang perlu diwujudkan pula dalam perbuatan untuk menghindarkan diri dari kekejaman fisik. [9]
Akibat kedurhakaan terhadap suami maka hilanglah hak istri yaitu menerima uang belanja, pakaian dan pembagian waktu, berarti dengan adanya durhaka istri., maka ketiga perkara tersebut menjadi tidak wajib atas suami dan istri tidak berhak menuntut.[10]Firman allah Swt dalam Q.s Al-Baqarah: 228 yang artinya: “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban (terhadap suaminya) menurut cara yang ma’ruf.” Apabila suami sudah menempuh tiga cara tersebut di atas namun belum menemukan solusi maka, suami diperbolehkan meminta bantuan pihak ketiga dari kedua belah pihak untuk menengahi perselisihan ini.[11]
Sebagai seorang istri juga harus menampilkan sikap taat terhadap suami demi menjaga keharmonisan dalam rumah tangga. Ciri-ciri perempuan muslimah yang akan menjadi istri yang teramat istimewa adalah apa yang digambarkan dalam perkataan Ummu Iyas dalam kumpulan nasihat dan wasiat untuk putrinya sebelum naik ke pelaminan. Pada saat itu, Ummu Iyas berkata: “Wahai putriku, seandainya seorang perempuan tidak mau menikah hanya karena keluarganya kaya, niscaya kamu akan menjadi orang yang paling berkecukupan. Akan tetapi, permpuan telah ditakdirkan untuk mendampingi laki-laki, dan begitu pula laki-laki telah diciptakan untuk mengayomi perempuan. Oleh karena itu, wahai putriku jagalah baik-baik sepuluh nasihat yang akan menjadikanmu sekuntum bunga yang mekar.[12]
a.    Yang pertama dan kedua; perlakukanlah suamimu dengan ikhlas sampai ia merasa puas. Dengarkanlah ucapannya dan taatlah kamu kepadanya.
b.    Yang ketiga dan keempat; jagalah penciuman dan pandangannya, jangan sampai engkau membiarkannya melihat hal-hal yang tidak menyenagkan darimu dan jangan sampai ia mencium bau yang tidak sedap darimu.
c.    Yang kelima dan keenam; jagalah suamimu agar terlelap dalam tidur dan perhatikanlah waktu makannya karena orang yang kelaparan biasanya cepat terbakar emosinya, sedangkan kurang tidur akan menyulut kemarahannya.
d.   Yang ketujuh dan kedelapan; jagalah harta dan keluarganya dengan baik.
e.    Yang kesembilan dan kesepuluh; berhati-hatilah, jangan sampai kau melalaikan perintahnya dan menyebarkan rahasianya., amka suatu saat engkau tidak akan selamat dari pembalasannya. Aku hanya menasihatkan kepadamu, janganlah engkau bergembira ketika suamimu sedang dalam kesedihan. Dan sebaliknya janganlah engkau bersedih ketika suamimu tengah bergembira.[13]
Dengan mengimplementasikan nasihat-nasihat tersebut dalam kehidupan berumah tangga akan tercipta keharmonisan, kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah seperti yang dikehendaki dalam ajaran Islam.
Suami Nusyuz
            Nusyuz juga ada di kalangan kaum laki-laki, sebagaimana yang tertera dalam al-Quran:
ÈbÎ)urîor&zöD$#ôMsù%s{.`ÏB$ygÎ=÷èt/#·qà±çR÷rsÎ


Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz[14] atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak Mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya,[15] dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir.[16] dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Nusyuznya suami ialah acuh terhadap istrinya, tidak mencintainya. Apabila seorang istri dengan yakin melihat suaminya nusyuz kepada dirinya maka keduanya mencari penyelesaian yang mereka setujui bersama, mau meneruskan perkawinannya dengan baik atau bercerai dan melepasnya dengan baik pula.[17]
Pernikahan bukanlah soal kekuasaan suami terhadap istri atau sebaliknya. Pernikahan adalah kehidupan bersama yang dipertemukan oleh amanat dan tanggung jawab. Masing-masing pihak harus saling membahagiakan dan tidak memaksakan kehendak pribadinya agar pernikahan tetap langgeng dan menghasilkan buah hati yang baik dan diberkati. Kesetiaan terhadap kehidupan rumah tangga adalah kesetiaan terluhur dan tersuci.

2.      Syiqaq
Syiqaq adalah krisis memuncak yang terjadi antara suami istri sedemikian rupa, sehingga antara suami istri terjadi pertentangan pendapat dan pertengkaran, menjadi dua pihak yang tidak mungkin dipertemukan dan kedua belah pihak tidak dapat mengatasinya.[18]
Firman Allah dalam QS. an-Nisa’: 35 menyatakan:

“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam[19] dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.

Menurut firman Allah tersebut, jika terjadi kasus syiqaq antara suami istri, maka diutus hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri untuk mengadakan penelitian dan penyelidikan tentang sabab musabab terjadi syiqaq dimaksud serta berusaha mendamaikannya, atau mengambil prakarsa putusnya perkawinan kalau sekiranya jalan inilah yang sebaik-baiknya.
Terhadap kasus syiqaq ini, bertugas menyelidiki dan mencari hakikat permasalahannya, sebab musabab timbulnya persengketaan, berusaha seberapa mungkin untuk mendamaikan kembali agar suami istri kembali hidup bersama dengan sebaik-baiknya, kemudian jika jalan peradamain itu tidak mungkin ditempuh, maka kedua hakam berhak mengambil inisiatif untuk menceraikannya, kemudian atas dasar prakarsa hakam ini maka hakim dengan keputusannya menetapkan perceraian tersebut.[20]
Dari ayat di atas bahwa syiqaq tidak memberi hak talak langsung kepada salah satu dari suami ataupun istri, tetapi harus menempuh cara perdamaian yang ditetapkan.[21] Pertama secara intern antara keduanya dengan musyawarah, kedua agak keras dengan melibatkan mertua dan ketiga dengan masing-masing harus menunjuk hakim yang bertugas mendamaikan perselisihan mereka, seperti mediasi dengan mediator.[22]
Kedudukan cerai sebab kasus syiqaq adalah bersifat ba’in. Artinya antara bekas suami istri hanya dapat kembali dengan akad nikah yang baru.[23]
            Perkara Syiqaq di Indonesia
Sebagaimana halnya ahli fikih, Pengadilan Agama di Indonesia juga terdapat dua pendapat dalam masa syiqaq. Mula-mula pendapat yang pertama yang banyak dianut (hakam dengan arti hakim), bahkan Mahkamah Islam Tinggi mengikuti kedua pendapat ini dalam keputusannya 12 Januari 1939 no. 3 dan tanggal 10 Maret 1951 no. 6.[24]
Akan tetapi, sampai sejauh ini belum diketahui sikap Mahkamah Tinggi Islam apabila hakam-hakam yang ditunjuk ternyata tidak sanggup mengambil keputusan. Selanjutnya Pengadilan Agama DIY, dalam surat keputusannya tanggal 10 Juni 1961 no. 489, memberikan keputusan perceraian terhadap perkara syiqaq apabila dua orang hakam yang diangkat tidak mampu memberikan suatu keputusan.[25]
Dengan keputusan ini, kemungkinan berlarut-larut masalah dan kesulitan yang akan dihadapi suami istri yang sedang bersengketa dapat dihindari, dan tidak memperburuk keadaan.[26]
Dalam pada itu, Pengadilan Agama Surabaya dengan surat keputusannya no. 532 tahun1985, menetapkan perceraian apabila dua orang hakam pihak tergugat (suami) tidak pernah hadir pada sidang-sidang pengadilan yang diadakan untk menyelesaikan perkara tersebut.[27]
            Hakamain
Hakam artinya juru damai. Hakamain adalah juru damai yang dikirim oleh dua belah pihak suami istri apabila terjadi perselisihan antara keduanya, tanpa diketahui keadaan siapa yang benar dan siapa yang salah di antara kedua suami istri tersebut.[28] Hal ini selaras dengan apa yang termaktub dalam al-Quran surat an-Nisa’ ayat 35.
            Syarat-syarat Hakamain
                        Orang yang ditunjuk sebagai hakam hendaklah:
a.       Berlaku adil di antara pihak yang bersengketa
b.      Mengadakan perdamaian antara kedua suami istri dengan ikhlas
c.       Disegani oleh kedua pihak suami istri
d.      Hendaklah berpihak pada yang teraniaya, apabila pihak yang lain tidak mau berdamai.[29]
3.      Menjernihkan kehidupan suami istri dari perselisihan[30]
a)      Pemilihan jodoh, proses pemilihan sangatlah penting demi kewaspadaan sebelum keseriusan dengan saling mengenal. Hingga terwujudlah kecocokaan antara keduanya.
b)      Waspada terhadap cemburu dan keetidakpedulian. Hubungan haruslah berasas saling percaya, sehingga kehidupan menjadi tenang, tentram dan serasi. Jangan biarkan prasangka melilit benak, karena akan mengendorkan cinta. Rasa peduli adalah kewajiban keduanya guna menjaga ikatan rasa yang ada, karena sikap tak lain adalah perwujudan dari rasa yang ada.
c)      Memenuhi kebutuhan, segala kebutuhan baik suami ataupun istri haruslah dipenuhi karena kebutuhan suami adalah kewajiban istri dan hak suami begitu pula sebaliknya.
d)     Dilarang meninggalkan terlalu lama, karena perpisahan akan menimbulkan rasa sepi dan renggangnya ikatan, jika terlalu lama maka akan menjadi sebuah keresahan.
e)      Dilarang membantah kewajiban, melayani suami adalang kewajiban istri maka istri dilarang menolak jika tanpa alasan ang jelas.
f)       Istri dilarang puasa sunnah kecuali dengan ijin suami
g)      Melakukan kewajiban haruslah dengan ikhlas hati terutama ketika bersenggama, karena hal ini berpengaruh kepada sikap sehari-hari.[31]
h)      Menjauhi yang merisaukan hati, kepada istri janganlah melakukan hal yang tidak disenangi suami begitu pula sebaliknya. Karena kesalahan yang diulang lagi dan lagi akan membuat jenuh pasangan dan emosi.


DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Slamet dan H. Aminuddin, 1999, Fikih Munakahat, Bandung: Pustaka Setia

Ahmad al Musayyar,Sayyid, 2008,Fiqih Cinta Kasih, Rahasia Kebahagiaan Rumah Tangga, Surabaya : Erlangga

Al-Maududi Fazl Ahmed,Abul A’la, 1987,Pedoman Perkawinan Dalam Islam, Jakarta : darul Ulum Press

Daly,Peunoh, 1988,Hukum Perkawinan Islam, Jakarta : Bulan Bintang

Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, Semarang: al Waah

Mutawalli as-Sya’rawi,Syaikh, 2005,Fikih Perempuan Muslimah Busana dan Perhiasan, Penghormatan atas Perempuan, Sampai Wanita Karir, Jakarta: Amzah

Rahman Ghazaly,Abdur, 2006, Fikih Munakahat, Jakarta: Prenada Media
Salim,Agus, 1985, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Pustaka Amani

Siddiq,Abdullah, 1968, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta : Tintamas

Sohari Sahrani,Tihami, 2010, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta: Raja Grafindo Persada

Suhandjati Sukri,Sri, 2004, Islam Menentang Kekerasan terhadap Istri, Yogyakarta : Gama Media

Utsman, Muhammad, 1994,Sulitnya Berumah Tangga, Jakarta : Gema Insani Press




[1] H. M. A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010, h. 185
[2]Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fikih Munakahat, Bandung: Pustaka Setia, 1999, h. 185
[3]Nusyuz yaitu meninggalkan kewajiban bersuami istri. Nusyuz dari pihak istri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya.
[4]Maksudnya: untuk memberi peljaran kepada isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. bila cara pertama Telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya.
[5]Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, Semarang: al Waah, h.
[6]Abul A’la Al-Maududi Fazl Ahmed, Pedoman Perkawinan Dalam Islam, Jakarta : darul Ulum Press, 1987, hlm. 32
[7]Sri Suhandjati Sukri, Islam Menentang Kekerasan terhadap Istri, Yogyakarta : Gama Media, 2004, hlm. 82
[8]Ibid. Hlm. 83
[9]Ibid, hlm 91
[10]Sayyid Ahmad al Musayyar, Fiqih Cinta Kasih, Rahasia Kebahagiaan Rumah Tangga, Surabaya : Erlangga, 2008, hlm. 305
[11]Ibid. Hlm. 313
[12]Syaikh Mutawalli as-Sya’rawi, Fikih Perempuan Muslimah Busana dan Perhiasan, Penghormatan atas Perempuan, Sampai Wanita Karir, Jakarta: Amzah, 2005, h. 178
[13]Ibid
[14]Nusyuz: yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya. nusyuz dari pihak suami ialah bersikap keras terhadap isterinya; tidak mau menggaulinya dan tidak mau memberikan haknya.
[15]seperti isteri bersedia beberapa haknya dikurangi Asal suaminya mau baik kembali.
[16]Maksudnya: tabi'at manusia itu tidak mau melepaskan sebahagian haknya kepada orang lain dengan seikhlas hatinya, kendatipun demikian jika isteri melepaskan sebahagian hak-haknya, Maka boleh suami menerimanya.
[17]Agus Salim, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Pustaka Amani, 1985, h. 160
[18]Abdur Rahman Ghazaly, Fikih Munakahat, Jakarta: Prenada Media, 2006, h. 241

[20]Ibid, h. 242
[21]Abdullah Siddiq, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta : Tintamas, 1968, hlm. 74
[22]Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1988, hlm. 243
[23]Abdullah Siddiq,Op.cit, h. 243
[24]H. M. A. Tihami dan Sohari Sahrani, op.cit, h. 189
[25]Ibid
[26]Ibid
[27]Ibid
[28]Ibid, h. 190
[29]Ibid, h. 193
[30]Muhammad Utsman, Sulitnya Berumah Tangga, Jakarta : Gema Insani Press, 1994, hlm. 47
[31]Ibid. Hlm. 57