Recent Posts

“Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.” (QS. al-Anbiya’: 7)

Kamis, 23 Februari 2012

Zakat Cerminan Kepedulian Umat

Islam merupakan agama yang mengajarkan tentang tawazun (keseimbangan) kepada umatnya. Berbuat seimbang dalam urusan dunia dan akhirat, juga seimbang dalam menjalin hubungan ketuhanan dan kemanusiaan. Kaitannya dengan itu, Islam mensyari’atkan kepada umatnya untuk membayar zakat sebagai salah satu bentuk upaya menyeimbangkan hubungan yang terjalin antara manusia kepada tuhannya dan manusia dengan manusia lainnya. Dari sinilah terlihat betapa Islam sangat bijaksana dalam setiap ajaran-ajarannya.

Menunaikan zakat adalah sebuah kewajiban bagi tiap muslim yang berpunya yang juga merupakan pilar agama Islam yang ketiga. Zakat juga merupakan salah satu sarana dalam pemberdayaan ekonomi umat Islam selain infaq dan sadaqah. Namun nampaknya hal ini menemui hambatan yang bersumber dari umat Islam itu sendiri yaitu kurangnya kesadaran dalam pelaksanaan ibadah sosial satu ini, hal lain yang menjadi kendala adalah ketika kesadaran pelaksanaan zakat bagi tiap yang diwajibkan itu telah ada tapi belum diikuti dengan pemahaman yang memadai tentang ibadah ini khususnya jika dibandingkan dengan pemahaman ibadah wajib lainnya seperti shalat dan puasa.

Ironi memang, ketika agama Islam begitu menaruh perhatian terhadap kesejahteraan sosial namun terbentur oleh sikap beberapa individu yang mengabaikan akan kewajiban berbagi atas sebagian harta yang dimilikinya. Kita bisa bayangkan jumlah penduduk di Indonesia yang mayoritas pemeluk Islam ini mencapai ratusan ribu jiwa, maka kita bisa kalkulasikan dua setengah persen, yang merupakan prosentasi zakat dari kekayaan mereka maka akan terkumpul dan menghasilkan dana yang cukup besar, tentu saja mampu menanggulangi kemiskinan yang mendera bangsa Indonesia.

Kesadaran dalam menunaikan ibadah satu ini nampaknya perlu dipupuk dari dini. Perlu adanya pembelajaran terhadap anak-anak untuk menyisihkan uangnya untuk mereka yang memang membutuhkan. Hal kecil ini bisa bermanfaat pada nantinya akan menjadi pribadi yang penuh empati dan menanamkan pada jiwanya kepekaan sosial sehingga mendorong keinginannya untuk selalu berbagi.

Moment ramadlan sangat tepat dijadikan sebagai sarana tauladan bagi anak dengan menyaksikan orang tuanya yang menunaikan zakat. Di bulan ini, prosentasi pelaksana zakat lebih tinggi jika dibandingkan dengan bulan-bulan biasa karena memang terdapat pahala yang berlipat yang dijanjikan Allah untuk setiap kebaikan yang dilakukan pada bulan ini. Namun terlepas dari itu, sudah menjadi kewajiban bagi umat Islam yang berpunya untuk membuka mata dengan keadaan sekitar yang memang membutuhkan dengan merelakan sebagian kecil hartanya untuk mereka.

Dari sinilah dapat dinilai seberapa besar kadar kepekaan seseorang terhadap sosialita yang ada. Karena sejatinya, Islam mengajarkan keseimbangan antara hubungan dengan tuhan dan hubungan dengan manusia, hablun minallah hablun minannas.

Hal lain yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan zakat bagi umat Islam adalah kurangnya pengetahuan serta pemahaman yang memadai tentang ibadah ini, yang meliputi jenis harta yang wajib dizakati, besaran harta yang wajib dikelurakan zakatnya, dan mekanisme pembayaran yang dituntunkan syari’ah Islam. Namun hal itu kiranya tidak akan menjadi kendala yang berarti karena saat ini banyak sekali layanan konsultasi zakat yang tersebar di berbagai media, baik media cetak maupun elektronik.

Selain itu, terdapat juga institusi zakat yang mempunyai peranan penting dalam pembudayaan ibadah zakat secara kolektif agar pelaksanaan ibadah sosial ini menjadi lebih efektif dan efisien. Di Indonesia terdapat LAZIS (Lembaga Amil Zakat Infaq Sadaqah), BAZ, dan juga banyak lagi lembaga swadaya yang siap menerima zakat dan menyalurkannya.

Lewat lembaga-lembaga tersebut kita bisa berkonsultasi mengenai permasalahan seputar zakat serta bisa menitipkan zakat kita untuk kemudian disalurkan kepada para mustahiq.

Jadi jelaslah bahwa Islam tidak melulu konsen pada ritual keagamaan yang bersifat illahiyat (ketuhanan) semata. Lebih dari itu, ia sangat menaruh perhatian yang besar terhadap kondisi umat. Zakat merupakan salah satu bentuk implementasi kepedulian Islam terhadap kesejahteraan sosial disamping infaq dan sadaqah.

Di bulan yang suci ini, akan menjadi bijak jika kita sisihkan sebagian dari harta kita untuk para mustahiq agar lebih sempurna ibadah kita di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Rabu, 22 Februari 2012

ILMU FALAK; FORMAT BARU MEMBANGUN PERBEDAAN


Dinamika Ilmu Falak mengalami booming yang luar biasa manakala terjadi diskusi dalam forum penentuan awal bulan hijriyah yang di dalamnya terdapat ibadah mahdhoh (Ramadlan, Syawal, Dzulhijjah). Betapa tidak, segenap ahli falak penjuru negeri didatangkan untuk membincang serta mendengar permasalahan keberadaan hilal yang tak jarang berujung pada khilafiyyah yang masih asyik menghuni negeri ini. Di wilayah lain, perbincangan kiblat juga menjadi isu heboh nan luar biasa.
==
Problematika Ibadah Teologis-Sosiologis
Dari sekian objek kajian dalam diskursus Ilmu Falak, yang paling tersohor dan sering diperbincangkan adalah problematika perbedaan awal bulan hijriyyah dan arah kiblat. Problematika ini cukup membawa dampak yang amat krusial dalam tatanan kehidupan peribadatan di masyarakat, perbedaan yang terjadi memberikan efek kebingungan dan kegelisahan dalam beribadah bagi sebagian masyarakat kita. Lalu di manakah kita harus meletakkan keilmuan falak secara bijak dan proporsional? Dengan bijak Ilmu Falak selayaknya kita posisikan sebagaimana fungsinya, yaitu sebagai “alat bantu” menuju peribadatan yang sempurna.
Namun dalam tataran realitas, kita disuguhi tontonan tentang keberadaan Ilmu Falak saat ini bagaikan candu yang memabukkan bagi segolongan orang yang mempunyai kepentingan di dalamnya, tak mengapa jika hal itu dijadikan sebagai upaya untuk penegasan keilmuan yang dikuasai, tapi pada kenyataannya tidak sedikit temuan yang mengindikasikan adanya economic interest yang ironisnya justru membikin umat berada dalam zona kebingungan. Salahkah Ilmu Falak? Tentu saja ia segera berteriak lantang dengan mengatakan, “ Jangan bawa namaku sebagai dalil pembenarmu wahai tuan-tuan berilmu!!!.” Tidakkah kita tersadar bahwa ilmu pengetahuan memberikan kebenaran yang relatif?? Lalu kerelatifan itu kita perdebatkan untuk menemukan kebenaran yang kita paksa menjadi absolut dengan melanggengkan perdebatan yang tak kunjung usai.
Perbedaan yang kita hadapi adalah sunnatullah, suatu hal yang wajar dan tak perlu disikapi terlalu larut dengan semakin terseret gelombang perdebatan yang sengit tersebut, karena bagaimanapun juga suatu keyakinan yang sudah mapan tak akan mudah begitu saja tergantikan dengan keyakinan baru. Wacana upaya penyatuan umat Islam dalam hal penyeragaman kalender hijriyah yang telah digadang-gadang mampu mewujudkan cita-cita tersebut nyatanya sampai detik ini masih jauh di angan melihat kenyataan bahwa masih ada golongan yang keukeuh dengan keyakinan mereka. Hal ini semakin menunjukkan bahwa untuk menyatukan perbedaan yang ada adalah suatu bentuk pengandaian yang tak berujung pada kenyataan.
Di ranah lain, ternyata eksistensi Ilmu Falak belum dapat diterima secara welcome oleh sebagian masyarakat kita dan atau bahkan kaum agamawan negeri ini. Sosialisasi serta gerakan pelurusan arah kiblat yang pernah dilakukan mendapat kecaman dari sebagian kelompok karena dianggap sesuatu yang baru dan menyalahi kepercayaan yang telah lebih dulu mumpuni, Ilmu Falak dianggap tidak mempunyai kapasitas untuk “ikut campur” dalam urusan ibadah.
Ilmu Falak dalam Peribadatan Umat Islam
Maalaa yatimmu al wajib illa bihi fahuwa waajibun, kaidah tersebut secara shorih telah memposisikan Ilmu Falak sebagai suatu yang wajib guna meraih suatu kesempurnaan dalam ibadah wajib (shalat). Bukan bermaksud untuk menomor duakan kedudukan al-Quran ataupun hadis, bagaimanapun juga keduanya merupakan sumber primer yang wajib dijadikan acuan oleh umat Islam dalam pelbagai problematika hukum syari’at. Namun kita juga tidak boleh menutup mata bahwa dikenal berbagai varian metode pendekatan dalam upaya menafsirkan al-Quran, diantaranya adalah metode pendekatan sains (saintific interpretation) yang memberikan penafsiran keilmuan alamiah yang pada akhirnya memposisikan Ilmu Falak sebagai corak penafsiran tersebut.
Mengacu pada pendekatan tersebut, dapat dikatakan bahwa Ilmu Falak merupakan produk dari penafsiran dengan corak ilmiah-alamiah yang berperan dalam penyempurnaan penghambaan kepada Allah. Anggapan ini berangkat dari banyaknya firman Allah yang menyeru kepada manusia untuk senatiasa berpikir dan berpikir. Langit, bumi, bulan, bintang, serta matahari adalah bagian dari makhluk Allah yang dijadikan Ilmu Falak sebagai objek berpikir,  yang kemudian bermuara pada pengagungan atas ciptaan Allah.
Bijak Membumikan Ilmu Falak
Sangat disayangkan jika Ilmu Falak yang mempunyai peranan penting dalam peribadatan umat Islam ternodai dengan adanya praktek yang justru menyebabkan kebingungan dan kegelisahan umat dalam melaksanakan ibadah mereka. Hal ini tentu akan menimbulkan permasalahan baru yang tidak hanya berkaitan dengan ibadah teologis namun juga akan meluas menjadi permasalahan ibadah sosial di tengah-tengah masyarakat. Nampaknya, dengan adanya permasalahan tersebut juga mampu membuat nama Falak semakin akrab di telinga masyarakat awam.
Dengan semakin populernya Ilmu Falak saat ini seharusnya diimbangi pula dengan sedikitnya kasus sosial yang merupakan dampak dari permasalahan khilafiyyah (baca; perbedaan penentuan hari raya) yang ada. Ilmu Falak untuk saat ini tidak bisa dikatakan sebagai ilmu yang langka lagi, banyak sekali tokoh di Indonesia yang membidangi disiplin ilmu ini baik dalam tataran akademis, praksis, atau bahkan keduanya sekaligus. Belum lagi dunia perfalakan diramaikan oleh para calon ahli falak yang telah dan akan lahir dari rahim kampus yang konon merupakan satu-satunya institut di Indonesia yang membuka jurusan falak ini.  Namun pada kenyataannya, masih kerap terjadi perselisihan yang mewarnai penentuan hari raya. Imbasnya, umatlah yang dibuat bingung. Peristiwa ini layaknya menjadi PR bagi para ahli untuk segera diselesaikan. Apakah harus dengan membikin wacana penyeragaman umat? Nyatanya sudah berapa tahun wacana ini dibangun tapi hingga detik ini belum memberikan dampak yang berarti.
Formula baru yang perlu dibangun adalah dengan memberi pemahaman kepada umat bahwa perbedaan yang ada merupakan salah satu kekayaan dari disiplin Ilmu Falak, terdapat banyak sekali metode yang digunakan utamanya yang berkaitan dengan penentuan awal bulan hijriyyah. Saling adu argmentasi yang tak berujung malah akan memicu permasalahan baru di antara umat, karena sesungguhnya dalam ilmu pengetahuan tidak mengenal akurasi kebenaran, semuanya bersifat relatif.
Dengan formula tersebut terdapat dua hikmah sekaligus yang dapat dijadikan pertimbangan untuk merekonstruksi wacana penyatuan. Pertama, memberikan binaan terhadap umat Islam agar senantiasa menjunjung tinggi toleransi atas perbedaan pendapat di antara muslim. Kedua, secara tidak langsung kita telah memasyarakatan Ilmu Falak yang berarti pula melestarikannya, karena pada dasarnya tidak ada ilmu yang buruk termasuk Ilmu Falak, maka layaklah ia untuk dibumikan dan diperdengarkan gaungnya di telinga para penikmat ilmu di seantero negeri. 

Jumat, 17 Februari 2012

MASJID JAMI’ BAITURRAHMAN SEMARANG

A. Identitas Masjid 
 Nama Masjid : Baiturrahman 
Alamat : Jl. Pandanaran No. 126 Semarang 
No. Telp : 024 831 0155 

 B. Sejarah Singkat Masjid Baiturrahman 
Pembangunan Masjid Raya Baiturrahman dimulai pada 10 Agustus 1968 dengan ditandai pemasangan tiang pancang untuk pondasi masjid sebanyak 137 buah. Masjid yang berasitektur gaya jawa ini, memiliki kubah bagian dalam yang terbuat dari kayu, bangunannya berbentuk limasan dan berdiri di atas lahan seluas 11. 765 m2 . Sebelum adanya Masjid Agung Jawa Tengah, masjid ini merupakan masjid terbesar di Semarang. Masjid ini diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 15 Desember 1974. Keberadaan masjid ini hingga sekarang menjadi kebanggaan tersendiri bagi warga Semarang, apalagi lokasinya berada di pusat kota. Saat ini Masjid Raya Baiturrahman tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah dan wadah berkumpulnya umat, melainkan juga pusat dakwah Islam. Di kompleks tersebut juga berkembang pesat lembaga pendidikan TK-SD H Isriati. Ia menjadi simbol oase religisiotas di tengah-tengah aktivitas kapitalisme di gedung-gedung mal dan perkantoran yang mengelilinginya. 

 C. Permasalahan Kiblat Masjid Baiturrahman 
Saat didirikannya pada tahun 1968, penentuan arah kiblat masjid Baiturrahman dibimbing oleh ahli Falak dari Kudus bernama Mbah Kyai Jalil. Namun pada pengecekan ulang arah kiblat yang dilakukan pada Rabu, 13 Januari 2010 oleh Tim Sertifikasi Arah Kiblat Kanwil Depag provinsi Jawa Tengah yang baru saja dibentuk oleh Gubernur Jateng Bibit Waluyo terungkap bahwa arah kiblat masjid tersebut melenceng sebesar 2 derajat 0 menit 33 detik ke arah selatan, akibatnya arah kiblat melenceng 215, 46 km atau arah shalat pengguna masjid tersebut tertuju antara Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Seperti yang dilansir oleh harian Suara Merdeka, Kabid Urais kanwil Depag Provinsi Jateng Achmad Suyuti menerangkan, program sertifikasi ini telah dilakukan mulai awal 2009 di seluruh masjid agung yang berada di kabupaten/kota. Hal tersebut dilakukan guna meluruskan kiblat yang dimungkinkan melenceng karena terakhir diukur sejak pendiriannya. Setelah diukur ulang dan disempurnakan arahnya, masjid mendapatkan sertifikat dan prasasti. Sedangkan mengenai awal penentuan arah kiblat Masjid Baiturrahman pada saat dibangun, menurut penuturan Suyuti masih menggunakan kompas. Penggunaan kompas itulah yang diduga kuat menjadikan kiblat masjid ini melenceng, karena penggunaan kompas memiliki kelamahan, yakni arah jarum terpengaruh dengan logam yang berada di sekitar masjid. 

 D. Respon Masyarakat 
Setelah terungkapnya kemelencengan arah kiblat masjid Baiturrahman tidak mempengaruhi jumlah umat Islam untuk mengikuti jamaah shalat jumat pada 15 Januari 2010. Ratusan jamaah masih nampak khusuk dalam shalatnya. Namun ternyata banyak dari jamaah yang belum mengetahui tentang melencengnnya arah kiblat pada masjid tersebut. Dari beberapa jamaah menyatakan bahwa shalatnya selama ini sah dikarenakan belum adanya pengetahuan tentang kemelencengan ini. Meskipun demikian jamaah meminta kepada pengurus untuk segera memperbaiki arah kiblat masid Baiturrahman agar shalatnya dapat dilakukan dengan mantap dan sah. Menurut penelitian penulis, saat ini kiblat masjid Baiturrahman sudah dibenarkan sesuai dengan hasil pengecekan yang telah dilakukan oleh Tim Sertifikasi Arah Kiblat Kanwil Depag provinsi Jawa Tengah yang dilakukan pada 13 Januari 2010 lalu. Hal ini terlihat dengan ditempelnya lakban warna hitam yang biasanya digunakan sebagai shaf baru di masjid-masjid yang melenceng arah kiblatnya. Lakban ini ditempelkan pada lantai satu masjid Baiturrahman 

 E. Tugas Mandiri: Praktek Pengukuran Arah Kiblat 
Pada 19 Desember 2011, penulis melakukan praktek pengukuran arah kiblat di masjid Baiturrahman dengan beberapa kawan menggunakan program Mizwala Qibla Finder, yaitu sebuah intrumen falak hasil rakitan Hendro Setyanto (Lajnah Falakiyah PBNU dan anggota BHRD Jawa Barat). Pengukuran menggunakan alat ini sangat bergantung pada matahari, karena memang mizwala hanya mampu bekerja dengan bantuan sinar matahari. Ini berarti mizwala tidak berfungsi di malam hari. Langkah pertama yang dilakukan dalam penggunaan instrumen ini adalah dengan memasukkan data lintang dan bujur tempat ybs, waktu pembidikan matahari dan interval waktunya di program mizwah maka secara otomatis program ini menampilkan besaran sudut arah kiblat tempat ybs dan menampilkan besaran sudut arah matahari pada waktu tersebut. Maka langkah selanjutnya yang harus ditempuh adalah dengan menggeser titik bayangan ke sudut arah kiblat yang ditampilkan oleh program tersebut. Arah yang ditunjukkan itulah arah kiblat. Hasil dari pengamatan kami tentang kiblat masjid Baiturrahman dengan bantuan mizwala ini adalah bahwa arah kiblat masjid ini tepat. 
Sumber: Harian Suara Merdeka 13 Januari 2010
http://seputarsemarang.com/

Paradigma Pesantren Masa Kini: Kemerdekaan di Segala Bidang

Pesantren merupakan lembaga transformasi ilmu agama yang bisa dibilang tertua di Indonesia, sejatinya muncul akibat dari kebijakan politik penjajahan Belanda pada beberapa abad yang lalu yang membatasi gerak dan kiprah para alim dan masyarakat Islam untuk melakukan perlawanan terhadap kolonialisasi. Di sinilah tonggak awal berdirinya pesantren-pesantren di Indonesia yang kemudian dijadikan basis dakwah dan perjuangan.
Melihat kenyataan tersebut, tampaklah bahwa pesantren bukan hanya melulu konsen pada urusan diniyyah saja. Sejarah mencatat banyak sekali tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan adalah produk pesantren sebut saja Hasyim Asy’ari, Wahid Hasyim, hingga Buya Hamka. Dan jika kita mau sedikit membuka mata maka kita akan terperangah betapa pesantren mampu melahirkan tokoh-tokoh handal sekaliber Abdurrahman Wahid, Amin Rais, dan Nurcholis Madjid yang mempunyai peranan penting dalam panggung pemerintahan Indonesia. Sungguhpun pesantren merupakan kran yang mengalirkan ilmu-ilmu agama, namun jauh dari itu ia juga mampu memberikan kontribusi dalam kehidupan sosial kenegaraan tentunya dengan tidak lebih memanjakan syahwat politik daripada semangat membangun umat.
Mengingat trade record yang sudah begitu apiknya diukir oleh pesantren, seyogyanyalah jika kalangan pesantren (baca: kaum muda pesantren) mampu mengemban tugas untuk nguri-nguri citra positif tersebut sungguhpun eksistensi pesantren akhir-akhir ini mengalami banyak tantangan dan pergulatan dengan arus globalisasi yang diakibatkan tingkat pemahaman dan intelektualitas masyarakat yang mulai meningkat. Namun pada realitasnya, untuk mempertahankan tradisi kepesantrenan bukanlah hal yang mudah di tengah arus modernisasi yang kian merajai di segala lini kehidupan, untuk itu perlu adanya aksi yang sungguh-sungguh yang dibangun antar elemen-elemen pesantren, baik kyai, santri, kurikulum, serta komponen-komponen pendukung lainnya.
Hal utama yang perlu diingat dari pesantren adalah apapun konteksnya bahwa sesungguhnya pesantren pernah menjadi strategi politik kemerdekaan di Indonesia. Dalam perjalanannya yang tidak bisa dibilang singkat itu, pesantren selayaknya tidak tabu dengan hal-hal yang baru di masa sekarang, tentu saja dengan tidak menanggalkan kekhasan pesantren itu sendiri sebagaimana yang telah diwariskan secara turun-temurun oleh walisongo melalui pesantren-pesantren yang tersebar di seantero nusantara beberapa abad yang lalu. Beberapa hal dari pesantren yang mungkin perlu diperbaharui adalah tentang perlunya kesepakatan baru dalam hubungan kyai, santri, kurikulum, dan instrumen pendukung pesantren lainnya. Pada koridor kesatuan pembinaan mutu santri, mutu kurikulum, dan sarana pendukung dalam konstelasi pengembangan pendidikan untuk para santri. Dengan demikian, dalam menyikapi kemajuan yang terjadi, kiprah pesantren yang terkait dan bersumber pada relasi kemasyarakatan perlu dicarikan sebuah paradigma baru agar nilai pesantren tetap terjaga dan kualitas sumber daya yang dihasilkan mampu bersaing secara kompetitif di era kemajuan yang menyentuh di berbagai lini kehidupan seperti saat ini. Paradigma baru yang perlu dibangun adalah bahwa pesantren sudah seharusnya menjadi corong bagi masyarakat atas apa yang menjadi cita-cita khalayak. Hal yang terjadi akhir-akhir ini bahwa masyarakat menghendaki sistem manusia yang seutuhnya atau dalam bahasa pesantren populer dengan sebutan manusia kaffah. Saat ini masyarakat menginginkan model pendidikan yang multi orientasi yaitu keseimbangan antara nilai dan perilaku, multi intelejensia, keterampilan sebagai penopang aspek ekonomi, serta kemampuan berkomunikasi dan kemampuan mengelola konflik yang bermanfaat dalam aspek sosiologisnya. Dan sekali lagi cita-cita ini akan tercapai jika ditopang dengan kerjasama yang harmonis antar komponen yang ada dalam pendidikan pesantren. Tentu saja dengan langkah seperti ini akan menghasilkan sumber daya yang tidak hanya cakap dalam mimbar dakwah tetapi juga lihai dalam kancah politik, ekonomi, sosial, dan budaya, sehingga mampu menjalankan amanat yang tertuang dalam al-Quran sendiri untuk menjadi pribadi yang bermanfaat bagi lingkungannya. Secara kasat mata memang saat ini Indonesia tidak berada dalam cengkeraman penjajahan lagi seperti yang terjadi pada masa lalu, tapi sejatinya pada aspek lain seperti ekonomi, politik dan budaya misalnya, Indonesia masih berada pada titik nadir. Meskipun telah melewati masa kemerdekaan selama kurang lebih enam puluh lima tahun nyatanya Indonesia masih belum mampu mengentaskan diri dari berbagai problema yang menjadi PR bersama, terlebih kaitannya dengan kesejahteraan sosial dan kesantuan dalam berpolitik. Hal ini bisa kita amati ketika nilai kurs rupiah begitu rendahnya di banding nilai mata uang negara berkembang lainnya, juga angka kemiskinan yang masih menghantui sebagian besar warga Indonesia, dari aspek budaya tak jarang kita disuguhi budaya impor yang sangatlah jauh dari nilai-nilai keindonesiaan yang masih menjunjung kesantunan, serta yang lebih akut lagi adalah ketika setiap hari kita disuguhi aksi memukau dari para aktor penting negeri ini dalam menggerogoti uang rakyat, korupsi masih menjadi budaya politik Indonesia. Tak ayal fenomena semacam ini kiranya bisa dijadikan sebagai motivasi bagi kalangan pesantren sebagai salah satu penyelenggara pendididkan di Indonesia untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan yang nyatanya masih berjibaku di bumi pertiwi ini. Untuk itu perlu kiranya dibangun sebuah paradigma baru tentang kepesantrenan masa kini yaitu mewujudkan kemerdekaan di segala bidang. Sejatinya konsep kemerdekaan di segala bidang bukanlah merupakan suatu hal yang baru didengung-dengungkan, kita yakin bahwa para sesepuh pesantren dahulu juga menginginkan konsep yang serupa hanya saja konteks masa lalu sangatlah jauh berbeda dengan fenomena yang terjadi saat ini, di mana gelombang globalisasi tak terelakkan lagi dan menghadapinya adalah merupakan sebuah keniscayaan. Kita tidak bisa lari dengan menutup mata atas laju zaman yang kian berkembang, justru yang harus kita lakukan adalah mengahadapinya seraya tetap berpegang pada akar kebudayaan dan agama yang telah melekat pada setiap pribadi pesantren.
Upaya yang mulai dilakukan beberapa pesantren di Indonesia nampaknya sudah mempunyai orientasi untuk mewujudkan kemerdekaan di segala bidang tersebut. Yaitu dengan mengkombinasi antara pendidikan diniyyah yang tercover dalam pendididkan informal dan sistem pendidikan dan pengajaran dalam bentuk madrasah yang diselenggarakan mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, di mana pada sistem pengajaran madrasah telah memiliki kurikulum yang baku termasuk di dalamnya terdapat berbagai jurusan yang mewadahi beberapa disiplin keilmuan sehingga bisa memfasilitasi para peserta didik dalam mengembangkan keilmuannya. Adanya beberapa jurusan yang terdapat dalam pendidikan pesantren merupakan langkah awal untuk mewujudkan misi kemerdekaan tersebut. Adanya jurusan eksakta (baca: IPA), Ilmu Sosial, Ilmu Bahasa, serta keagamaan sudah bisa dianggap cukup untuk menghasilkan kader-kader pemimpin bangsa yang mempunyai bekal keilmuan yang mencakup di berbagai bidang dan tentu saja dengan dihiasi basis IMTAQ (iman dan takwa) yang kuat sehingga diharapkan dengan upaya ini akan lahir Hamka Hamka masa kini yang mampu memerdekakan Indonesia dalam konteks sesungguhnya sesuai dengan keilmuan masing-masing, tentu saja dengan menonjolkan kesantunan ala pesantren.
Dan akhirnya paradigma tentang pesantren yang harus mampu berperan mewujudkan kemerdekaan mencakup segala bidang di Indonesia menjadi terasa penting untuk masa sekarang sebagai aplikasi terhadap resep yang telah diformulasi oleh walisongo pada masa lalu melalui pesantren-pesantren di wilayah Jawa khususnya juga sebagai respon atas tuntutan zaman yang mengharuskan delegasi-delegasi pesantren yang santun untuk berkiprah di luar kajian kepesantrenan yang mencakup wilayah ekonomi, budaya, pendidikan, dan politik. Tentu saja dengan harapan agar tercipta negara impian, baldatun thoyyibatun wa rabbun ghofuur.

Kamis, 16 Februari 2012

BUKAN HARGA MATI

Dalam UU SISDIKNAS 2009 disebutkan bahwa rektor adalah pimpinan tertinggi perguruan tinggi yang mempunyai kewajiban memajukan ilmu pengetahuan di institusinya masing-masing. Berdasarkan UU tersebut nyata sekali bahwa ruang kerja rektor hanyalah berkutat pada pengembangan pendidikan di perguruan tinggi. Namun kiranya UU tersebut tidak menjadi harga mati karena di era pasca reformasi saat ini siapapun mempunyai hak untuk berpendapat dan mengkritisi setiap kebijakan pemerintah yang dianggap kurang tepat, termasuk FRI yang merupakan organisasi yang menaungi para rektor seluruh Indonesia.
Melihat kiprah FRI selama ini tidaklah berlebihan jika paguyuban ini sering disebut-sebut sebagai oase di tengah pragmatisme kekuasaan yang menggurita di tubuh bangsa ini. Turut berpartisipasi dalam pemantauan pemilu, melakukan kritik terhadap UU BHP, menolak pembangunan gedung baru DPR, kritik atas ide pembubaran KPK, merupakan kontribusi yang pernah dilakukan oleh FRI yang tak lain bertujuan untuk menciptakan perubahan ke arah lebih baik negeri ini.
Sebagai salah satu elemen pendidikan di perguruan tinggi, sudah sewajarnya jika FRI juga mempunyai semangat gerakan perubahan nasional. Dan hal ini coba direalisasikan oleh FRI dengan dideklarasikannya pasal (6) pada Konvensi Kampus ke-VII di Universitas Sriwijaya Palembang yang menyatakan, “Kampus seyogyanya berfungsi sebagai pemasok nation change agents yang kompeten dan bermoral. Segenap elemen pendidikan agar selalu berupaya menjadikan dirinya sebagi teladan dan garda terdepan, tidak hanya dalam pengembangan keilmuan, melainkan juga dalam pendidikan karakter sebagai warga bangsa yang selalu kritis namaun tetap beradab (berkeadaban publik).”
Dengan demikian, sepak terjang FRI selama ini bukanlah merupakan hal yang buruk. Setiap elemen bangsa mempunyai hak untuk memberikan kontribusinya terhadap kemajuan dan perbaikan negara sesuai kompetensi yang dimiliki. FRI yang berkecimpung di dunia pendidikan diharapkan mampu menjadi wadah yang berkualitas dan mampu menhantarkan bangsa pada gerbang perubahan.