Pesantren merupakan lembaga transformasi ilmu agama yang bisa dibilang tertua di Indonesia, sejatinya muncul akibat dari kebijakan politik penjajahan Belanda pada beberapa abad yang lalu yang membatasi gerak dan kiprah para alim dan masyarakat Islam untuk melakukan perlawanan terhadap kolonialisasi. Di sinilah tonggak awal berdirinya pesantren-pesantren di Indonesia yang kemudian dijadikan basis dakwah dan perjuangan.
Melihat kenyataan tersebut, tampaklah bahwa pesantren bukan hanya melulu konsen pada urusan diniyyah saja. Sejarah mencatat banyak sekali tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan adalah produk pesantren sebut saja Hasyim Asy’ari, Wahid Hasyim, hingga Buya Hamka. Dan jika kita mau sedikit membuka mata maka kita akan terperangah betapa pesantren mampu melahirkan tokoh-tokoh handal sekaliber Abdurrahman Wahid, Amin Rais, dan Nurcholis Madjid yang mempunyai peranan penting dalam panggung pemerintahan Indonesia. Sungguhpun pesantren merupakan kran yang mengalirkan ilmu-ilmu agama, namun jauh dari itu ia juga mampu memberikan kontribusi dalam kehidupan sosial kenegaraan tentunya dengan tidak lebih memanjakan syahwat politik daripada semangat membangun umat.
Mengingat trade record yang sudah begitu apiknya diukir oleh pesantren, seyogyanyalah jika kalangan pesantren (baca: kaum muda pesantren) mampu mengemban tugas untuk nguri-nguri citra positif tersebut sungguhpun eksistensi pesantren akhir-akhir ini mengalami banyak tantangan dan pergulatan dengan arus globalisasi yang diakibatkan tingkat pemahaman dan intelektualitas masyarakat yang mulai meningkat. Namun pada realitasnya, untuk mempertahankan tradisi kepesantrenan bukanlah hal yang mudah di tengah arus modernisasi yang kian merajai di segala lini kehidupan, untuk itu perlu adanya aksi yang sungguh-sungguh yang dibangun antar elemen-elemen pesantren, baik kyai, santri, kurikulum, serta komponen-komponen pendukung lainnya.
Hal utama yang perlu diingat dari pesantren adalah apapun konteksnya bahwa sesungguhnya pesantren pernah menjadi strategi politik kemerdekaan di Indonesia. Dalam perjalanannya yang tidak bisa dibilang singkat itu, pesantren selayaknya tidak tabu dengan hal-hal yang baru di masa sekarang, tentu saja dengan tidak menanggalkan kekhasan pesantren itu sendiri sebagaimana yang telah diwariskan secara turun-temurun oleh walisongo melalui pesantren-pesantren yang tersebar di seantero nusantara beberapa abad yang lalu. Beberapa hal dari pesantren yang mungkin perlu diperbaharui adalah tentang perlunya kesepakatan baru dalam hubungan kyai, santri, kurikulum, dan instrumen pendukung pesantren lainnya. Pada koridor kesatuan pembinaan mutu santri, mutu kurikulum, dan sarana pendukung dalam konstelasi pengembangan pendidikan untuk para santri. Dengan demikian, dalam menyikapi kemajuan yang terjadi, kiprah pesantren yang terkait dan bersumber pada relasi kemasyarakatan perlu dicarikan sebuah paradigma baru agar nilai pesantren tetap terjaga dan kualitas sumber daya yang dihasilkan mampu bersaing secara kompetitif di era kemajuan yang menyentuh di berbagai lini kehidupan seperti saat ini. Paradigma baru yang perlu dibangun adalah bahwa pesantren sudah seharusnya menjadi corong bagi masyarakat atas apa yang menjadi cita-cita khalayak. Hal yang terjadi akhir-akhir ini bahwa masyarakat menghendaki sistem manusia yang seutuhnya atau dalam bahasa pesantren populer dengan sebutan manusia kaffah. Saat ini masyarakat menginginkan model pendidikan yang multi orientasi yaitu keseimbangan antara nilai dan perilaku, multi intelejensia, keterampilan sebagai penopang aspek ekonomi, serta kemampuan berkomunikasi dan kemampuan mengelola konflik yang bermanfaat dalam aspek sosiologisnya. Dan sekali lagi cita-cita ini akan tercapai jika ditopang dengan kerjasama yang harmonis antar komponen yang ada dalam pendidikan pesantren. Tentu saja dengan langkah seperti ini akan menghasilkan sumber daya yang tidak hanya cakap dalam mimbar dakwah tetapi juga lihai dalam kancah politik, ekonomi, sosial, dan budaya, sehingga mampu menjalankan amanat yang tertuang dalam al-Quran sendiri untuk menjadi pribadi yang bermanfaat bagi lingkungannya. Secara kasat mata memang saat ini Indonesia tidak berada dalam cengkeraman penjajahan lagi seperti yang terjadi pada masa lalu, tapi sejatinya pada aspek lain seperti ekonomi, politik dan budaya misalnya, Indonesia masih berada pada titik nadir. Meskipun telah melewati masa kemerdekaan selama kurang lebih enam puluh lima tahun nyatanya Indonesia masih belum mampu mengentaskan diri dari berbagai problema yang menjadi PR bersama, terlebih kaitannya dengan kesejahteraan sosial dan kesantuan dalam berpolitik. Hal ini bisa kita amati ketika nilai kurs rupiah begitu rendahnya di banding nilai mata uang negara berkembang lainnya, juga angka kemiskinan yang masih menghantui sebagian besar warga Indonesia, dari aspek budaya tak jarang kita disuguhi budaya impor yang sangatlah jauh dari nilai-nilai keindonesiaan yang masih menjunjung kesantunan, serta yang lebih akut lagi adalah ketika setiap hari kita disuguhi aksi memukau dari para aktor penting negeri ini dalam menggerogoti uang rakyat, korupsi masih menjadi budaya politik Indonesia. Tak ayal fenomena semacam ini kiranya bisa dijadikan sebagai motivasi bagi kalangan pesantren sebagai salah satu penyelenggara pendididkan di Indonesia untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan yang nyatanya masih berjibaku di bumi pertiwi ini. Untuk itu perlu kiranya dibangun sebuah paradigma baru tentang kepesantrenan masa kini yaitu mewujudkan kemerdekaan di segala bidang. Sejatinya konsep kemerdekaan di segala bidang bukanlah merupakan suatu hal yang baru didengung-dengungkan, kita yakin bahwa para sesepuh pesantren dahulu juga menginginkan konsep yang serupa hanya saja konteks masa lalu sangatlah jauh berbeda dengan fenomena yang terjadi saat ini, di mana gelombang globalisasi tak terelakkan lagi dan menghadapinya adalah merupakan sebuah keniscayaan. Kita tidak bisa lari dengan menutup mata atas laju zaman yang kian berkembang, justru yang harus kita lakukan adalah mengahadapinya seraya tetap berpegang pada akar kebudayaan dan agama yang telah melekat pada setiap pribadi pesantren.
Upaya yang mulai dilakukan beberapa pesantren di Indonesia nampaknya sudah mempunyai orientasi untuk mewujudkan kemerdekaan di segala bidang tersebut. Yaitu dengan mengkombinasi antara pendidikan diniyyah yang tercover dalam pendididkan informal dan sistem pendidikan dan pengajaran dalam bentuk madrasah yang diselenggarakan mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, di mana pada sistem pengajaran madrasah telah memiliki kurikulum yang baku termasuk di dalamnya terdapat berbagai jurusan yang mewadahi beberapa disiplin keilmuan sehingga bisa memfasilitasi para peserta didik dalam mengembangkan keilmuannya. Adanya beberapa jurusan yang terdapat dalam pendidikan pesantren merupakan langkah awal untuk mewujudkan misi kemerdekaan tersebut. Adanya jurusan eksakta (baca: IPA), Ilmu Sosial, Ilmu Bahasa, serta keagamaan sudah bisa dianggap cukup untuk menghasilkan kader-kader pemimpin bangsa yang mempunyai bekal keilmuan yang mencakup di berbagai bidang dan tentu saja dengan dihiasi basis IMTAQ (iman dan takwa) yang kuat sehingga diharapkan dengan upaya ini akan lahir Hamka Hamka masa kini yang mampu memerdekakan Indonesia dalam konteks sesungguhnya sesuai dengan keilmuan masing-masing, tentu saja dengan menonjolkan kesantunan ala pesantren.
Dan akhirnya paradigma tentang pesantren yang harus mampu berperan mewujudkan kemerdekaan mencakup segala bidang di Indonesia menjadi terasa penting untuk masa sekarang sebagai aplikasi terhadap resep yang telah diformulasi oleh walisongo pada masa lalu melalui pesantren-pesantren di wilayah Jawa khususnya juga sebagai respon atas tuntutan zaman yang mengharuskan delegasi-delegasi pesantren yang santun untuk berkiprah di luar kajian kepesantrenan yang mencakup wilayah ekonomi, budaya, pendidikan, dan politik. Tentu saja dengan harapan agar tercipta negara impian, baldatun thoyyibatun wa rabbun ghofuur.
Melihat kenyataan tersebut, tampaklah bahwa pesantren bukan hanya melulu konsen pada urusan diniyyah saja. Sejarah mencatat banyak sekali tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan adalah produk pesantren sebut saja Hasyim Asy’ari, Wahid Hasyim, hingga Buya Hamka. Dan jika kita mau sedikit membuka mata maka kita akan terperangah betapa pesantren mampu melahirkan tokoh-tokoh handal sekaliber Abdurrahman Wahid, Amin Rais, dan Nurcholis Madjid yang mempunyai peranan penting dalam panggung pemerintahan Indonesia. Sungguhpun pesantren merupakan kran yang mengalirkan ilmu-ilmu agama, namun jauh dari itu ia juga mampu memberikan kontribusi dalam kehidupan sosial kenegaraan tentunya dengan tidak lebih memanjakan syahwat politik daripada semangat membangun umat.
Mengingat trade record yang sudah begitu apiknya diukir oleh pesantren, seyogyanyalah jika kalangan pesantren (baca: kaum muda pesantren) mampu mengemban tugas untuk nguri-nguri citra positif tersebut sungguhpun eksistensi pesantren akhir-akhir ini mengalami banyak tantangan dan pergulatan dengan arus globalisasi yang diakibatkan tingkat pemahaman dan intelektualitas masyarakat yang mulai meningkat. Namun pada realitasnya, untuk mempertahankan tradisi kepesantrenan bukanlah hal yang mudah di tengah arus modernisasi yang kian merajai di segala lini kehidupan, untuk itu perlu adanya aksi yang sungguh-sungguh yang dibangun antar elemen-elemen pesantren, baik kyai, santri, kurikulum, serta komponen-komponen pendukung lainnya.
Hal utama yang perlu diingat dari pesantren adalah apapun konteksnya bahwa sesungguhnya pesantren pernah menjadi strategi politik kemerdekaan di Indonesia. Dalam perjalanannya yang tidak bisa dibilang singkat itu, pesantren selayaknya tidak tabu dengan hal-hal yang baru di masa sekarang, tentu saja dengan tidak menanggalkan kekhasan pesantren itu sendiri sebagaimana yang telah diwariskan secara turun-temurun oleh walisongo melalui pesantren-pesantren yang tersebar di seantero nusantara beberapa abad yang lalu. Beberapa hal dari pesantren yang mungkin perlu diperbaharui adalah tentang perlunya kesepakatan baru dalam hubungan kyai, santri, kurikulum, dan instrumen pendukung pesantren lainnya. Pada koridor kesatuan pembinaan mutu santri, mutu kurikulum, dan sarana pendukung dalam konstelasi pengembangan pendidikan untuk para santri. Dengan demikian, dalam menyikapi kemajuan yang terjadi, kiprah pesantren yang terkait dan bersumber pada relasi kemasyarakatan perlu dicarikan sebuah paradigma baru agar nilai pesantren tetap terjaga dan kualitas sumber daya yang dihasilkan mampu bersaing secara kompetitif di era kemajuan yang menyentuh di berbagai lini kehidupan seperti saat ini. Paradigma baru yang perlu dibangun adalah bahwa pesantren sudah seharusnya menjadi corong bagi masyarakat atas apa yang menjadi cita-cita khalayak. Hal yang terjadi akhir-akhir ini bahwa masyarakat menghendaki sistem manusia yang seutuhnya atau dalam bahasa pesantren populer dengan sebutan manusia kaffah. Saat ini masyarakat menginginkan model pendidikan yang multi orientasi yaitu keseimbangan antara nilai dan perilaku, multi intelejensia, keterampilan sebagai penopang aspek ekonomi, serta kemampuan berkomunikasi dan kemampuan mengelola konflik yang bermanfaat dalam aspek sosiologisnya. Dan sekali lagi cita-cita ini akan tercapai jika ditopang dengan kerjasama yang harmonis antar komponen yang ada dalam pendidikan pesantren. Tentu saja dengan langkah seperti ini akan menghasilkan sumber daya yang tidak hanya cakap dalam mimbar dakwah tetapi juga lihai dalam kancah politik, ekonomi, sosial, dan budaya, sehingga mampu menjalankan amanat yang tertuang dalam al-Quran sendiri untuk menjadi pribadi yang bermanfaat bagi lingkungannya. Secara kasat mata memang saat ini Indonesia tidak berada dalam cengkeraman penjajahan lagi seperti yang terjadi pada masa lalu, tapi sejatinya pada aspek lain seperti ekonomi, politik dan budaya misalnya, Indonesia masih berada pada titik nadir. Meskipun telah melewati masa kemerdekaan selama kurang lebih enam puluh lima tahun nyatanya Indonesia masih belum mampu mengentaskan diri dari berbagai problema yang menjadi PR bersama, terlebih kaitannya dengan kesejahteraan sosial dan kesantuan dalam berpolitik. Hal ini bisa kita amati ketika nilai kurs rupiah begitu rendahnya di banding nilai mata uang negara berkembang lainnya, juga angka kemiskinan yang masih menghantui sebagian besar warga Indonesia, dari aspek budaya tak jarang kita disuguhi budaya impor yang sangatlah jauh dari nilai-nilai keindonesiaan yang masih menjunjung kesantunan, serta yang lebih akut lagi adalah ketika setiap hari kita disuguhi aksi memukau dari para aktor penting negeri ini dalam menggerogoti uang rakyat, korupsi masih menjadi budaya politik Indonesia. Tak ayal fenomena semacam ini kiranya bisa dijadikan sebagai motivasi bagi kalangan pesantren sebagai salah satu penyelenggara pendididkan di Indonesia untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan yang nyatanya masih berjibaku di bumi pertiwi ini. Untuk itu perlu kiranya dibangun sebuah paradigma baru tentang kepesantrenan masa kini yaitu mewujudkan kemerdekaan di segala bidang. Sejatinya konsep kemerdekaan di segala bidang bukanlah merupakan suatu hal yang baru didengung-dengungkan, kita yakin bahwa para sesepuh pesantren dahulu juga menginginkan konsep yang serupa hanya saja konteks masa lalu sangatlah jauh berbeda dengan fenomena yang terjadi saat ini, di mana gelombang globalisasi tak terelakkan lagi dan menghadapinya adalah merupakan sebuah keniscayaan. Kita tidak bisa lari dengan menutup mata atas laju zaman yang kian berkembang, justru yang harus kita lakukan adalah mengahadapinya seraya tetap berpegang pada akar kebudayaan dan agama yang telah melekat pada setiap pribadi pesantren.
Upaya yang mulai dilakukan beberapa pesantren di Indonesia nampaknya sudah mempunyai orientasi untuk mewujudkan kemerdekaan di segala bidang tersebut. Yaitu dengan mengkombinasi antara pendidikan diniyyah yang tercover dalam pendididkan informal dan sistem pendidikan dan pengajaran dalam bentuk madrasah yang diselenggarakan mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, di mana pada sistem pengajaran madrasah telah memiliki kurikulum yang baku termasuk di dalamnya terdapat berbagai jurusan yang mewadahi beberapa disiplin keilmuan sehingga bisa memfasilitasi para peserta didik dalam mengembangkan keilmuannya. Adanya beberapa jurusan yang terdapat dalam pendidikan pesantren merupakan langkah awal untuk mewujudkan misi kemerdekaan tersebut. Adanya jurusan eksakta (baca: IPA), Ilmu Sosial, Ilmu Bahasa, serta keagamaan sudah bisa dianggap cukup untuk menghasilkan kader-kader pemimpin bangsa yang mempunyai bekal keilmuan yang mencakup di berbagai bidang dan tentu saja dengan dihiasi basis IMTAQ (iman dan takwa) yang kuat sehingga diharapkan dengan upaya ini akan lahir Hamka Hamka masa kini yang mampu memerdekakan Indonesia dalam konteks sesungguhnya sesuai dengan keilmuan masing-masing, tentu saja dengan menonjolkan kesantunan ala pesantren.
Dan akhirnya paradigma tentang pesantren yang harus mampu berperan mewujudkan kemerdekaan mencakup segala bidang di Indonesia menjadi terasa penting untuk masa sekarang sebagai aplikasi terhadap resep yang telah diformulasi oleh walisongo pada masa lalu melalui pesantren-pesantren di wilayah Jawa khususnya juga sebagai respon atas tuntutan zaman yang mengharuskan delegasi-delegasi pesantren yang santun untuk berkiprah di luar kajian kepesantrenan yang mencakup wilayah ekonomi, budaya, pendidikan, dan politik. Tentu saja dengan harapan agar tercipta negara impian, baldatun thoyyibatun wa rabbun ghofuur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar