Recent Posts

“Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.” (QS. al-Anbiya’: 7)

Rabu, 22 Februari 2012

ILMU FALAK; FORMAT BARU MEMBANGUN PERBEDAAN


Dinamika Ilmu Falak mengalami booming yang luar biasa manakala terjadi diskusi dalam forum penentuan awal bulan hijriyah yang di dalamnya terdapat ibadah mahdhoh (Ramadlan, Syawal, Dzulhijjah). Betapa tidak, segenap ahli falak penjuru negeri didatangkan untuk membincang serta mendengar permasalahan keberadaan hilal yang tak jarang berujung pada khilafiyyah yang masih asyik menghuni negeri ini. Di wilayah lain, perbincangan kiblat juga menjadi isu heboh nan luar biasa.
==
Problematika Ibadah Teologis-Sosiologis
Dari sekian objek kajian dalam diskursus Ilmu Falak, yang paling tersohor dan sering diperbincangkan adalah problematika perbedaan awal bulan hijriyyah dan arah kiblat. Problematika ini cukup membawa dampak yang amat krusial dalam tatanan kehidupan peribadatan di masyarakat, perbedaan yang terjadi memberikan efek kebingungan dan kegelisahan dalam beribadah bagi sebagian masyarakat kita. Lalu di manakah kita harus meletakkan keilmuan falak secara bijak dan proporsional? Dengan bijak Ilmu Falak selayaknya kita posisikan sebagaimana fungsinya, yaitu sebagai “alat bantu” menuju peribadatan yang sempurna.
Namun dalam tataran realitas, kita disuguhi tontonan tentang keberadaan Ilmu Falak saat ini bagaikan candu yang memabukkan bagi segolongan orang yang mempunyai kepentingan di dalamnya, tak mengapa jika hal itu dijadikan sebagai upaya untuk penegasan keilmuan yang dikuasai, tapi pada kenyataannya tidak sedikit temuan yang mengindikasikan adanya economic interest yang ironisnya justru membikin umat berada dalam zona kebingungan. Salahkah Ilmu Falak? Tentu saja ia segera berteriak lantang dengan mengatakan, “ Jangan bawa namaku sebagai dalil pembenarmu wahai tuan-tuan berilmu!!!.” Tidakkah kita tersadar bahwa ilmu pengetahuan memberikan kebenaran yang relatif?? Lalu kerelatifan itu kita perdebatkan untuk menemukan kebenaran yang kita paksa menjadi absolut dengan melanggengkan perdebatan yang tak kunjung usai.
Perbedaan yang kita hadapi adalah sunnatullah, suatu hal yang wajar dan tak perlu disikapi terlalu larut dengan semakin terseret gelombang perdebatan yang sengit tersebut, karena bagaimanapun juga suatu keyakinan yang sudah mapan tak akan mudah begitu saja tergantikan dengan keyakinan baru. Wacana upaya penyatuan umat Islam dalam hal penyeragaman kalender hijriyah yang telah digadang-gadang mampu mewujudkan cita-cita tersebut nyatanya sampai detik ini masih jauh di angan melihat kenyataan bahwa masih ada golongan yang keukeuh dengan keyakinan mereka. Hal ini semakin menunjukkan bahwa untuk menyatukan perbedaan yang ada adalah suatu bentuk pengandaian yang tak berujung pada kenyataan.
Di ranah lain, ternyata eksistensi Ilmu Falak belum dapat diterima secara welcome oleh sebagian masyarakat kita dan atau bahkan kaum agamawan negeri ini. Sosialisasi serta gerakan pelurusan arah kiblat yang pernah dilakukan mendapat kecaman dari sebagian kelompok karena dianggap sesuatu yang baru dan menyalahi kepercayaan yang telah lebih dulu mumpuni, Ilmu Falak dianggap tidak mempunyai kapasitas untuk “ikut campur” dalam urusan ibadah.
Ilmu Falak dalam Peribadatan Umat Islam
Maalaa yatimmu al wajib illa bihi fahuwa waajibun, kaidah tersebut secara shorih telah memposisikan Ilmu Falak sebagai suatu yang wajib guna meraih suatu kesempurnaan dalam ibadah wajib (shalat). Bukan bermaksud untuk menomor duakan kedudukan al-Quran ataupun hadis, bagaimanapun juga keduanya merupakan sumber primer yang wajib dijadikan acuan oleh umat Islam dalam pelbagai problematika hukum syari’at. Namun kita juga tidak boleh menutup mata bahwa dikenal berbagai varian metode pendekatan dalam upaya menafsirkan al-Quran, diantaranya adalah metode pendekatan sains (saintific interpretation) yang memberikan penafsiran keilmuan alamiah yang pada akhirnya memposisikan Ilmu Falak sebagai corak penafsiran tersebut.
Mengacu pada pendekatan tersebut, dapat dikatakan bahwa Ilmu Falak merupakan produk dari penafsiran dengan corak ilmiah-alamiah yang berperan dalam penyempurnaan penghambaan kepada Allah. Anggapan ini berangkat dari banyaknya firman Allah yang menyeru kepada manusia untuk senatiasa berpikir dan berpikir. Langit, bumi, bulan, bintang, serta matahari adalah bagian dari makhluk Allah yang dijadikan Ilmu Falak sebagai objek berpikir,  yang kemudian bermuara pada pengagungan atas ciptaan Allah.
Bijak Membumikan Ilmu Falak
Sangat disayangkan jika Ilmu Falak yang mempunyai peranan penting dalam peribadatan umat Islam ternodai dengan adanya praktek yang justru menyebabkan kebingungan dan kegelisahan umat dalam melaksanakan ibadah mereka. Hal ini tentu akan menimbulkan permasalahan baru yang tidak hanya berkaitan dengan ibadah teologis namun juga akan meluas menjadi permasalahan ibadah sosial di tengah-tengah masyarakat. Nampaknya, dengan adanya permasalahan tersebut juga mampu membuat nama Falak semakin akrab di telinga masyarakat awam.
Dengan semakin populernya Ilmu Falak saat ini seharusnya diimbangi pula dengan sedikitnya kasus sosial yang merupakan dampak dari permasalahan khilafiyyah (baca; perbedaan penentuan hari raya) yang ada. Ilmu Falak untuk saat ini tidak bisa dikatakan sebagai ilmu yang langka lagi, banyak sekali tokoh di Indonesia yang membidangi disiplin ilmu ini baik dalam tataran akademis, praksis, atau bahkan keduanya sekaligus. Belum lagi dunia perfalakan diramaikan oleh para calon ahli falak yang telah dan akan lahir dari rahim kampus yang konon merupakan satu-satunya institut di Indonesia yang membuka jurusan falak ini.  Namun pada kenyataannya, masih kerap terjadi perselisihan yang mewarnai penentuan hari raya. Imbasnya, umatlah yang dibuat bingung. Peristiwa ini layaknya menjadi PR bagi para ahli untuk segera diselesaikan. Apakah harus dengan membikin wacana penyeragaman umat? Nyatanya sudah berapa tahun wacana ini dibangun tapi hingga detik ini belum memberikan dampak yang berarti.
Formula baru yang perlu dibangun adalah dengan memberi pemahaman kepada umat bahwa perbedaan yang ada merupakan salah satu kekayaan dari disiplin Ilmu Falak, terdapat banyak sekali metode yang digunakan utamanya yang berkaitan dengan penentuan awal bulan hijriyyah. Saling adu argmentasi yang tak berujung malah akan memicu permasalahan baru di antara umat, karena sesungguhnya dalam ilmu pengetahuan tidak mengenal akurasi kebenaran, semuanya bersifat relatif.
Dengan formula tersebut terdapat dua hikmah sekaligus yang dapat dijadikan pertimbangan untuk merekonstruksi wacana penyatuan. Pertama, memberikan binaan terhadap umat Islam agar senantiasa menjunjung tinggi toleransi atas perbedaan pendapat di antara muslim. Kedua, secara tidak langsung kita telah memasyarakatan Ilmu Falak yang berarti pula melestarikannya, karena pada dasarnya tidak ada ilmu yang buruk termasuk Ilmu Falak, maka layaklah ia untuk dibumikan dan diperdengarkan gaungnya di telinga para penikmat ilmu di seantero negeri. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar