Dinamika Ilmu Falak mengalami booming yang luar biasa manakala
terjadi diskusi dalam forum penentuan awal bulan hijriyah yang di dalamnya
terdapat ibadah mahdhoh (Ramadlan, Syawal, Dzulhijjah). Betapa tidak, segenap
ahli falak penjuru negeri didatangkan untuk membincang serta mendengar
permasalahan keberadaan hilal yang tak jarang berujung pada khilafiyyah yang
masih asyik menghuni negeri ini. Di wilayah lain, perbincangan kiblat juga
menjadi isu heboh nan luar biasa.
==
Problematika Ibadah Teologis-Sosiologis
Dari sekian objek kajian dalam diskursus Ilmu Falak, yang paling
tersohor dan sering diperbincangkan adalah problematika perbedaan awal bulan
hijriyyah dan arah kiblat. Problematika ini cukup membawa dampak yang amat
krusial dalam tatanan kehidupan peribadatan di masyarakat, perbedaan yang
terjadi memberikan efek kebingungan dan kegelisahan dalam beribadah bagi
sebagian masyarakat kita. Lalu di manakah kita harus meletakkan keilmuan falak
secara bijak dan proporsional? Dengan bijak Ilmu Falak selayaknya kita posisikan sebagaimana
fungsinya, yaitu sebagai “alat bantu” menuju peribadatan yang sempurna.
Namun dalam tataran realitas, kita disuguhi tontonan tentang keberadaan
Ilmu Falak saat ini bagaikan candu yang memabukkan bagi segolongan orang yang
mempunyai kepentingan di dalamnya, tak mengapa jika hal itu dijadikan sebagai
upaya untuk penegasan keilmuan yang dikuasai, tapi pada kenyataannya tidak
sedikit temuan yang mengindikasikan adanya economic interest yang ironisnya
justru membikin umat berada dalam zona kebingungan. Salahkah Ilmu Falak? Tentu
saja ia segera berteriak lantang dengan mengatakan, “ Jangan bawa namaku
sebagai dalil pembenarmu wahai tuan-tuan berilmu!!!.” Tidakkah kita tersadar
bahwa ilmu pengetahuan memberikan kebenaran yang relatif?? Lalu kerelatifan itu
kita perdebatkan untuk menemukan kebenaran yang kita paksa menjadi absolut
dengan melanggengkan perdebatan yang tak kunjung usai.
Perbedaan yang kita hadapi adalah sunnatullah, suatu hal
yang wajar dan tak perlu disikapi terlalu larut dengan semakin terseret
gelombang perdebatan yang sengit tersebut, karena bagaimanapun juga suatu
keyakinan yang sudah mapan tak akan mudah begitu saja tergantikan dengan keyakinan
baru. Wacana upaya penyatuan umat Islam dalam hal penyeragaman kalender
hijriyah yang telah digadang-gadang mampu mewujudkan cita-cita tersebut
nyatanya sampai detik ini masih jauh di angan melihat kenyataan bahwa masih ada
golongan yang keukeuh dengan keyakinan mereka. Hal ini semakin menunjukkan
bahwa untuk menyatukan perbedaan yang ada adalah suatu bentuk pengandaian yang
tak berujung pada kenyataan.
Di ranah lain, ternyata eksistensi Ilmu Falak belum dapat diterima
secara welcome oleh sebagian masyarakat kita dan atau bahkan kaum
agamawan negeri ini. Sosialisasi serta gerakan pelurusan arah kiblat yang
pernah dilakukan mendapat kecaman dari sebagian kelompok karena dianggap
sesuatu yang baru dan menyalahi kepercayaan yang telah lebih dulu mumpuni, Ilmu
Falak dianggap tidak mempunyai kapasitas untuk “ikut campur” dalam urusan
ibadah.
Ilmu Falak dalam Peribadatan Umat Islam
Maalaa yatimmu al wajib illa bihi fahuwa waajibun, kaidah tersebut secara shorih telah memposisikan Ilmu Falak
sebagai suatu yang wajib guna meraih suatu kesempurnaan dalam ibadah wajib
(shalat). Bukan bermaksud untuk menomor duakan kedudukan al-Quran ataupun
hadis, bagaimanapun juga keduanya merupakan sumber primer yang wajib dijadikan
acuan oleh umat Islam dalam pelbagai problematika hukum syari’at. Namun kita
juga tidak boleh menutup mata bahwa dikenal berbagai varian metode pendekatan
dalam upaya menafsirkan al-Quran, diantaranya adalah metode pendekatan sains (saintific
interpretation) yang memberikan penafsiran keilmuan alamiah yang pada
akhirnya memposisikan Ilmu Falak sebagai corak penafsiran tersebut.
Mengacu pada pendekatan tersebut, dapat dikatakan bahwa Ilmu Falak
merupakan produk dari penafsiran dengan corak ilmiah-alamiah yang berperan
dalam penyempurnaan penghambaan kepada Allah. Anggapan ini berangkat dari
banyaknya firman Allah yang menyeru kepada manusia untuk senatiasa berpikir dan
berpikir. Langit, bumi, bulan, bintang, serta matahari adalah bagian dari
makhluk Allah yang dijadikan Ilmu Falak sebagai objek berpikir, yang kemudian bermuara pada pengagungan atas
ciptaan Allah.
Bijak Membumikan Ilmu Falak
Sangat disayangkan jika Ilmu Falak yang mempunyai peranan penting
dalam peribadatan umat Islam ternodai dengan adanya praktek yang justru
menyebabkan kebingungan dan kegelisahan umat dalam melaksanakan ibadah mereka.
Hal ini tentu akan menimbulkan permasalahan baru yang tidak hanya berkaitan
dengan ibadah teologis namun juga akan meluas menjadi permasalahan ibadah
sosial di tengah-tengah masyarakat. Nampaknya, dengan adanya permasalahan
tersebut juga mampu membuat nama Falak semakin akrab di telinga masyarakat
awam.
Dengan semakin populernya Ilmu Falak saat ini seharusnya diimbangi
pula dengan sedikitnya kasus sosial yang merupakan dampak dari permasalahan
khilafiyyah (baca; perbedaan penentuan hari raya) yang ada. Ilmu Falak untuk
saat ini tidak bisa dikatakan sebagai ilmu yang langka lagi, banyak sekali
tokoh di Indonesia yang membidangi disiplin ilmu ini baik dalam tataran
akademis, praksis, atau bahkan keduanya sekaligus. Belum lagi dunia perfalakan
diramaikan oleh para calon ahli falak yang telah dan akan lahir dari rahim
kampus yang konon merupakan satu-satunya institut di Indonesia yang membuka
jurusan falak ini. Namun pada
kenyataannya, masih kerap terjadi perselisihan yang mewarnai penentuan hari
raya. Imbasnya, umatlah yang dibuat bingung. Peristiwa ini layaknya menjadi PR
bagi para ahli untuk segera diselesaikan. Apakah harus dengan membikin wacana
penyeragaman umat? Nyatanya sudah berapa tahun wacana ini dibangun tapi hingga
detik ini belum memberikan dampak yang berarti.
Formula baru yang perlu dibangun adalah dengan memberi pemahaman
kepada umat bahwa perbedaan yang ada merupakan salah satu kekayaan dari
disiplin Ilmu Falak, terdapat banyak sekali metode yang digunakan utamanya yang
berkaitan dengan penentuan awal bulan hijriyyah. Saling adu argmentasi yang tak
berujung malah akan memicu permasalahan baru di antara umat, karena
sesungguhnya dalam ilmu pengetahuan tidak mengenal akurasi kebenaran, semuanya
bersifat relatif.
Dengan formula tersebut terdapat dua hikmah sekaligus yang dapat
dijadikan pertimbangan untuk merekonstruksi wacana penyatuan. Pertama, memberikan
binaan terhadap umat Islam agar senantiasa menjunjung tinggi toleransi atas
perbedaan pendapat di antara muslim. Kedua, secara tidak langsung kita
telah memasyarakatan Ilmu Falak yang berarti pula melestarikannya, karena
pada dasarnya tidak ada ilmu yang buruk termasuk Ilmu Falak, maka layaklah ia
untuk dibumikan dan diperdengarkan gaungnya di telinga para penikmat ilmu di
seantero negeri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar