A. Pendahuluan
Islam adalah agama universal yang memiliki
makna menampakkan ketundukan dan melaksanakan syariah serta menetapi apa saja
yang datang dari Rasulullah. Semakna dengan hal ini, Allah juga memerintahkan
umat Islam agar masuk ke dalam Islam secara keseluruhan. Yakni, memerintahkan
kaum muslimin untuk mengamalkan syariat Islam dan cabang-cabang iman yang
begitu banyak jumlah dan ragamnya.
Namun, dewasa ini banyak nilai-nilai Islam yang
ditinggalkan oleh kaum muslim. Salah satunya adalah dalam masalah jilbab. Hal
ini tampak dari banyaknya kaum muslimah yang tidak mempraktikkan syariat ini
dalam keseharian mereka. Akibatnya, mereka kehilangan identitas diri sebagai
muslimah sehingga sulit dibedakan mana yang muslimah dan non-muslimah.
Ada beberapa faktor yang turut menyebabkan adanya fenomena tersebut, ketidaktahuan, keraguan, ataupun terbelenggu dalam hawa nafsu. Namun, yang lebih bahaya dari itu semua adalah adanya usaha pengkaburkan bahwa jilbab bukanlah sebuah kewajiban agama, melainkan produk budaya Arab.
Ada beberapa faktor yang turut menyebabkan adanya fenomena tersebut, ketidaktahuan, keraguan, ataupun terbelenggu dalam hawa nafsu. Namun, yang lebih bahaya dari itu semua adalah adanya usaha pengkaburkan bahwa jilbab bukanlah sebuah kewajiban agama, melainkan produk budaya Arab.
Selain itu, al-Quran juga mengatur bagaimana
harus membawa diri dalam pergaulan antar lawan jenis. Hal ini membuktikan bahwa
al-Quran tidak melulu membicang tentang bagaimana thariqah untuk tunduk
pada-Nya namun juga mengatur pola kehidupan manusia agar selalu menjaga
pandangannya kepada ajnaby supaya tidak terjerumus dalam godaan syaitan
yang menjadi musuh nyata bagi manusia.
Dalam menafsirkan ayat “nadzar” itupun tidak dapat kita terapkan secara
tekstual, karena bagaimanapun terjadi perbedaan setting time and space, kapan
dan di mana ayat itu turun sehingga faktor kekinian menjadi suatu yang sangat
penting supaya tidak terjadi lokalitas dalam menafsirkan sebuah teks.
B.
Ayat-ayat al-Hijab wa al-Nazhar
Ø QS.
al-Ahzab: 59
يَا
أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ
يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا
يُؤْذَيْنَ
وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Artinya: “Hai nabi, Katakanlah kepada
isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin:
"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya[1] ke seluruh tubuh
mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, Karena
itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS. al-Ahzab: 59)
Ø QS.
an-Nuur: 30-31
قُلْ
لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ
أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ
أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا
ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ
زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آَبَائِهِنَّ أَوْ آَبَاءِ
بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ
إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ
نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي
الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى
عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ
مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya:”Katakanlah kepada orang laki-laki yang
beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara
kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang
beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari
padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau
ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka,
atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki
mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam,
atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak
mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah,
Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. an-Nuur: 30-31)
C.
Al- Tahlil al-Lafdi
Ø QS.
al-Ahzab: 59
& QS. an-Nuur: 30-31
1.
Ma’na Lafdzi
§ أزواجك : Ummahaat al-mu’miniin
(istri-istri nabi) yang suci dan mendapatkan
keridhoan Allah SWT.
§ يدنين : Menjulurkan.
§ جلابيبهن : Jama’ dari Jilbab, yaitu kain yang
menutupi seluruh badan, dikatakan dalam lisannya orang Arab : jilbab lebih
lebar dari pada kerudung, bukan selendang yang hanya menutupi kepala dan
dadanya wanita.
§ رحيما : Mengasihi hambanya dan lemah lembut
kepada mereka, dan siapa yang dikasihi Allah SWT. Sesungguhnya Allah tidak
membebani hamba-Nya dengan sesuatu yang berat bagi mereka.
§ يغضوا : Menahan pandangan.
§ ويحفظوافروجهم : (menutupi aurat dari pandangan), menjaga
dari perbuatan zina.
§ أزكى لهم : Untuk mubalaghah yakni bahwa menundukkan
pandangan dan memelihara kemaluan itu berfungsi mensucikan orang mukmin dari
noda-noda kerendahan (budi)
§ زينتهن : Perhiasan mereka (wanita), sesuatu yang
biasanya digunakan wanita untuk berhias, seperti baju, emas, celak, dan lain sebagainya.
§ الاما ظهرمنها : Barang yang Nampak atau terlihat,
seperti baju, cincin, celak yang tidak mungkin untuk disembunyikan.
§ بخمرهن : Kerudung kepala/jilbab (pakaian yang
menutup segenap badan/sebagian besar dari badan).
§ جيوبهن : Dada (atau diartikan sebagai saku,
karena dulu saku letakkan didada).
§ بعولتهن : Tidak melepas kain penutup dan jilbab
kecuali dihadapan suami-suami mereka.
§ الاربة : Kebutuhan
§ الطفل : Anak kecil yang belum baligh, belum tahu
tentang aurat wanita.
§ لم يظهروا : Tidak menampakkan aurat mereka.
D.
Al-Ma’na al-Ijmali
Ø QS.
an-Nuur: 30-31[2]
Ya Muhammad, katakanlah kepada pengikutmu yang
beriman agar mereka menahan pandangan mereka dari melihat/memandang wanita
asing, yang bukan mahramnya, dan tidak melihat selain kepada apa yang
dihalalkan bagi mereka. Hendaknya mereka menjaga kehormatan (kemaluan) mereka
dari berbuat zina, dan menutup aurat mereka hingga tidak seseorang pun bisa
melihatnya. Sesungguhnya yang demikian itu lebih suci untuk hati mereka, dan
lebih terjaga dari perbuatan dosa.
Sesungguhnya pandangan mata itu menumbuhkan syahwat
dalam hati, lalu syahwat tersebut akan menyebabkan kesedihan yang berlarut
(lama). Apabila mata itu melihat terhadap sesuatu yang diharamkan tanpa
disengaja, maka mereka hendaklah memalingkan pandangan mereka dengan
cepat/sesegera mungkin, dan jangan terlalu lama memandangnya. Sesungguhnya
Allah menjaga dan memerhatikan seluruh amal mereka, dan tidak ada satu tempat
persembunyian pun yang bisa disembunyikan dari Allah. (Allah mengetahui apa
yang disembunyikan oleh mata dan apa yang disembunyikan oleh hati).
Kemudian Allah menguatkan perintah-Nya kepada para
wanita muslimah agar menjaga pandangan dan kemaluan mereka, dan menyuruh mereka
agar tidak menggoda laki-laki dengan menampakkan perhiasan mereka, kecuali
dihadapan mahram dan kerabat. Sesungguhnya yang demikian itu lebih utama dan
lebih baik/indah bagi bagi mereka, kecuali jika perhiasan-perhiasan itu tanpa
sengaja terlihat maka tidak ada dosa bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Pengasih.
Sesungguhnya wanita-wanita pada zaman jahiliyyah
seperti halnya sekarang ini (jahiliyyah modern), mereka berjalan di hadapan
para lelaki dengan aurat yang terbuka untuk menarik parhatian/pandangan para
lelaki, dan mereka menuangkan khamr dari belakang dengan tetap dalam keadaan
aurat yang terbuka (tanpa menggunakan kain penutup). Allah juga memerintahkan
kepada para wanita agar tidak memukulkan perhiasan kaki mereka ke lantai,
sehingga terdengar suara hentakan gelang kaki mereka oleh laki-laki yang dalam
hati mereka terdapat penyakit.
Kemudian Allah menutup perintah dan larangan-larangan
itu dengan perintah kepada (laki-laki dan wanita) agar mereka semua berserah
diri dan kembali kepada Allah agar mendapatkan derajat yang tinggi dan
kemenangan yang bagus di sisi Allah.
E.
Lathoif al-Tafsir
Ø QS.
al-Ahzab: 59
1. Allah SWT dalam memerintah perempuan-perempuan
untuk berilbab secara syar’I, memulainya dengan menyuruh istri-istri Nabi dan
putri-putrinya. Ini memberi pengertian, bahwa mereka adalah wanita-wanita
panutan yang menjadi tauladan semua wanita sehingga mereka wajib berpegangan
adab syar’I untuk diikuti oeh wanita-wanitalainnya karena dakwah tidak akan
membuahkan hasil melainkan apabila da’inya memulai dari dirinya sendiri dn
keluarganya. Siapa lagi yang lebih konsekuen melaksanakan adab syar’I kalau
bukan keluarga Nabi.Inilah rahasianya mengapa mereka lebih didahulukan oleh
Allah dalam perintahnya kepada kaum wanita untuk berhijab, dalam firman-Nya
“Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dst”
2. Perintah berhijab ini diturunkan setelah diwajibkan
menutup aurat, maka yang dimaksud dengan berhijab disini adalah menutup anggota
badan selain aurat itu sendiri. Oleh karena itu, para ahli tafsir sepakat
meskipun ada perbedaan dalam redaksi, bahwa yang dimaksud “jilbab” yaitu
“selendang yang berfungsi menutup seluruh tubuh wanita diatas pakaiannya, yang
dimasa kini lazim disebut ‘mula’ah” dan bukan sekedar menutup aurat sperti
dugaan sebagian orang.
3. Penegasan dengan perincian:’istri-istrimu,
anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin” itu, menolak dengan tegas
pendapat orang-orang yang mendduga bahwa, perintah berhjab itu hanya khusus
diwajibkan pada istri-istri Nabi saja, sebab kata-kata “dan istri-istri orang mukmin” itu menunjukkan
secara pasti “qoth’I”, bahwa seluruh wanita muslimah wajib berjilbab dan mereka
seluruhnya terkena khitob umum ini.
4. Allah memerintah perempuan-perempuan merdeka
berjilbab agar brbeda dengan hamba-hamba perempuan. Ini bias juga difaham,
bahwa agama tidak mengindahkan urusan hamba dan tidak memperdulikan penderitaan
yang mereka alami akibat gangguan-gangguan dari orang fasik (hidung belang).
Kalau demikian halnya, apakah sesuai dengan semangat Islam untuk membina
masyarakat yang berih?
Jawabnya: bahwa hamba-hamba perempuan itu
sudah biasa keluar dan mondar-mandir ke pasar untuk melaksanakan tugasnya
melayani tuan mereka, oleh karena itu, kalau mereka dipaksa berjilbab secara
penuh maka akan mengalami kesulitan. Tidak demikian halnya perempuan-perempuan
merdeka Karena mereka diperintahkan untuk tinggal dirumah-rumah mereka.Allah
berfirman:
وقرن فى بيوتكن
(dan hendaklah kalian tetap berada
dirumah-rumah kalian, QS.al-Ahzab,33:35 ) dan dilarang keluar kecuali kalau ada
keperluan, maka bagi mereka tidak akan mengalami kesulitan dan keberatan berjilbab,
sedang sebelum ayat ini Allah berfirman:”Sesungguhnya orang-orang yang
menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat.”(QS. 33:58), disini Allah memberikan
ancaman kepada orang-orang yang mengganggu (kepada mukminin dan mukminat)
dengan siksa yang pedih, sedang kata “mukminat” disini mencakup
perempuan-perempuan merdeka dan hamba.
5. Firman Allah :”yang demikian itu, supaya mereka
lebih mudah dikenal sehingga mereka tidak diganggu” adalah sebagai illat atau
hikmah atas diwaibkannya berjilbab, sedang semua hokum syar’I itu diperintahkan
karena ada suatu hikmah.
Jumhurul
mufassirin menafsirkan kata أن يعرفن dengan,
supaya mereka dikenal sebagai perempuan-perempuan merdeka dan hamba sahaya.
Abu Hayyan memilih penafsiran yang berbeda
dengan penafsiran jumhur diatas, ia berpendapat: bahwa perintah berjilbab itu
ditunjukkan kepada seluruh wanita, baik merdeka maupun hamba, sedang
menafsirkan kata أن يعرفن
dengan dikenali sebagai perempuan-perempuan yang memelihara kehormatannya,
sehigga orang-orang yang berakhlak buruk dan jahat tidak termasuk didalamya.
Selanjutnya Abu Hayyan mengatakan: secara
dzahir, firman Allah:”dan istri-istri orang-orang mukmin”itu, meliputi semua
perempuan mukminah, baik yang merdeka maupun hamba, sedang kemungkinan
timbulnya fitnah adalah lebih besar hamba daripada perempuan merdeka karena
hamba lebih banyak keluar rumah.maka mengeluarkan hamba-hamba perempuan dari
kerumunan ayat tersebut tentu diperlukan dalil yang tegas. Sedang firman Allah
“lebih mudah untuk dikenal”, yakni dikena sebagai perempuan-perempuan yang
memelihara kehormatannya dengan cara menutup tubuh sehingga mereka tidak
diganggu dan tidak jatuh ke lembah nista yang tidakdiinginkan, sebab perempuan
apabila dalam keadaan berjilbab penuh, tidak aka nada orang yang berani mengganggunya,
berbeda dengan perempuan yang menampakkan dandanannya, tentu akan mudah
merangsang (laki-laki hidung belang dsb).
Ini pendapat yang terlihat sangat tepat dan
paengambilan kesimpulan (istinbath) yang teliti. Pendapat yang dipilih Abu
Hayyan inilah yang dipilih sesuai tujuan Islam tentang masalah menutup tubuh
dan menjaga (kehormatanwanita).[3]
Ø QS.
an-Nuur: 30-31
1. Rahasia didahulukan (perintah) menndukkan pandangan
daripada memelihara kemaluan adalah karena pandangan merupakan kontak pertama
yang menggerakkan hati menuju kepada zina sebagaimana yang dikatakan seorang
penyair:
وكنت
إذا ارسلت طرفك راءدا * لقلبك يوما أتعبتك المناظر
رأيت
الذى لا كله أنت قادر * عليه ولا عن بذضه أنت صابر
“Anda apabila melepaskan kedipan mata sebagai
utusan. Bagi hati anda pada suatu hari, maka anda akan dipayahkan oleh
banyaknya pemandangan. Anda tahu bahwa anda tidak mampu menguasai
seluruhnya.Bahkan sebagianpun anda tidak dapat sabar”
Karena bencana yang diakibatkan oleh
pandanga itu sangat berat dan banyak sekali, bahkan hampir tak dapat
ditanggulangi. Karena pandangan merupakan gerbang yang menggerakkan hati dan
indera-indera lainnya. Alangkah bagusnya Syauqi yang berdendang:
نظرة
فابتسامة فسلام * فكلام فموعد فلقاء
Dari pandangan kemudian senyuman lalu salam
Selanjutnya percakapan, kemudian janji lalu
perjumpaan
Dan sebagian penyair berdendang:
وما
الحب الا نظرة اثر نظرة * تزيد نموا ان تزده لجاجا
Tiadalah cinta asmara itu melainkan (tumbuh
dari) pandangan demi pandangan
Semakin sering pandangan anda layangkan
maka cintapun semakin berkembang
2. Firman Allah: “Hendaklah mereka menundukkan
pandangan mereka” yang dimaksud ialah menundukkan pandangan dari apa saja yang
diharamkan oleh Allah, dan bukan menundukkan pandangan terhadap apa saja secara
umum. Ini termasuk “ijaz bil hadzfi” (mempersingkat kalimat dengan membuang
sebagiannya) karena dipandang cukup dapat dipaham oleh mukhatabahnya.
3. Al-alamah az-Zamakhsyari berkata: Jika engkau
bertanya: Mengapa “min” yang berarti “sebagian” itu termasuk padaغض البصر dan bukan حفظ الفرج ?
kujawab: Hal itu karena pandangan itu lebih luas. Ketahuilah bahwa terhadap
mahram tidak mengapa melihat rambutnya, dadanya dan payudaranya. Sedangkan
kemaluan adalah sempit. Cukuplah kiranya untuk membedakan bawa dibolehkan
melihat (anggota badan) kecuali ini dan ini dilarang bersenggama kecuali ini
dan ini.
Zamakhsyri berkata: Disebutya”perhiasan”dan
bukan “tempat beradanya” adalah untuk “mubalaghah”. Sebab perhiasan itu sendiri
tidak dilarang (untuk ditampakkan) sedang larangan disini tidak lain hanya
karena dipakai di tempat itu, maka menampakkan tempat dimana perhiasan itu
berada itulah yang pertama-tama dilarang.
4. Firman Allah Ta’ala: itu untuk mubalaghah yakni
bahwa menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan itu berfungsi mensucikan
orang mukmin dari noda-noda kerendahan (budi).
5. Firman Allah Ta’ala “ dan hendaklah mereka tidak
menampakkan perhiasan mereka” itu, yang dimaksud adalah tempat dimana perhiasan
itu berada, seperti firman Allah: “maka di dalam rahmat Allah mereka kekal
didalamnya” (QS. Ali Imron 3:107) yang dimaksud “dalam rahmat Allah” disini
ialah “dalam surga”. Karena surga adalah tempat rahmat Allah berada. Maka
apabila
Allah melarang menampakkan perhiasan maka
maksudnya adalah melarang menampakkan anggota badan yang diempati perhiasan
itu. Cara seperi ini lebih mengena.
6. Firman Allah وليضربن بخمرهن
hendaklah mereka melabuhkan kain kudung mereka” itu, dignakannya kata الضرب adalah
untuk mubalaghah, sedang dimuta’addikanya dengan “bi” adalah mempunyai arti
“mempertemukan” yakni kerudung itu hendaknya terbeber hingga dada supaya leher
sampai dada tidak terlihat.
7. Firman Allah قل للمؤمنين يغضوا
“katakanlah kepada orang-orang mukmin: Hendaklah mereka menundukkan itu, abu
Su’ud berkata: Disini ad Fi’il amar yang dibuang yaitu غضوا sedang يغضوا itu
menjadi jawabnya. Pengungkapan seperti ini mengisyaratkan bahwa orang mukmin
itu selalu bersegera dalam melaksanakan perintah Allah.
8. Sebagian ulama’ berkata: Sebagaimana pandangan
dapat memperoleh rasa nikmat maka demikian pula pendengaran bahkan ada yang
mengatakan: “telinga kadang-kadang memperoleh keasyikan sebelum mata (mendapat
giliran)”. Inilah rahasianya mengapa
perempuan oleh Allah dilarang “menghentakkan kakinya ke tanah” dengan tujuan
agar suara perhiasannya tidak terdengar sehingga dapat membangkitkan syahwat
laki-laki. Terlihat sekali bahwa menampakka anggota badan yang menjadi tempat
perhiasan adalah lebih dilarang dan pada dasarnya apa saja yang dapat
membangkitkan syahwat atau merangsangya adalah dilarang seperti memakai
harum-haruman, berlenggang-lenggok dalam berjalan, meliuk-liukkan omongan.
Allah berfirman: “maka janganlah kalian meliuk-liukkan omongan sehingga
merangsang keinginan orang yang dihatinya ada penyakit” (QS. Al-Ahzab 33:32).
Ada juga ulama’ yang berkata:Kalau mendengarkan perhiasan saja dilarang maka
lebih-lebih suaara mereka sendiri. Ini suatu pengambilan dalil yang lembut.
9. Firman Alllah:”dan tobatlah kepada Allah” itu,
suatu pengalihan (iltifat) sebab pada permulaan ayat pembicaraan ini
ditunjukkan kepada Rasulullah SAW, kemudian pada akhirnya dipalingkan untuk
seluruh umatnya dengan jalan “iltifat” (pengalihan dari satu khitab ke khitab
lain).
10. Imam Ibnul Qayim al-Jauzi rah. Berkata:Menundukkan
panangan itu mempunyai faedah yang banyak, missal:
a. Melaksanakan perintah Allah SWT.ini merupakan
factor yang sangat utama dalam memperoleh kebahagiaan.
b. Mencegah pengaruh negative dari akibat pandangan
yang berbisa.
c. Menambahkan hati dan juga menggembirakannya.
d. Membuat hati bercahaya
e. Dapat membuat pelakunya memiliki kemampuan
berfirasat yang tajam
f. Menutp pintu-pintu gangguan setan dan bahwa antara mata dan hati ada satu jalan
tembus yang saling mempengaruhi.
قالوا
: جننت بمن تهوى فقلت لهم * العشق اعظم مما بالمجانين
العشق
لا يستفيق الدهر صاحبه * وإنما يصرع المجنون فى الحين
Mereka berkata: Anda dibuat gila oleh orang
yang anda cintai lalu katakana kepada mereka:
Rindu itu lebih dahsyat dari apa yang
diderita orang-orang gila.
Rindu, penderitaanya tidak dapatsembuh
sepanjang masa
Tetapi orang yang gila hanya tak sadar
dalam suatu wakt saja[4].
F.
Sabab al-Nuzul
Ø QS.
al-Ahzab: 59
a.
Quraish Shihab menuturkan bahwa wanita-wanita pada masa
awal Islam di Madinah memakai pakaian yang sama dalam garis besar bentuknya
sama dengan pakaian-pakaian yang dipakai oleh wanita-wanita pada umumnya. Ini
termasuk wanita-wanita tunasusila atau hamba sahaya. Mereka secara umum memakai
baju dan kerudung bahkan jilbab tetapi leher dan dada mereka mudah terlihat.
Tidak jarang mereka memakai kerudung tetapi ujungnya dikebelakangkan sehingga
telinga, leher dan sebagian dada mereka terbuka. Keadaan semacam itu digunakan
oleh orang-orang munafik untuk menggoda dan mengganggu wanita-wanita termasuk
wanita Mukminah. Dan ketika mereka ditegur menyangkut gangguannya terhadap
mukminah, mereka berkata: “Kami kira mereka hamba sahaya.” Ini tentu disebabkan
ketika itu identitas mereka sebagai wanita Muslimah tidak terlihat dengan
jelas. Nah, dalam situasi yang demikian itulah turunlah petunjuk Allah kepada
Nabi, “Hai nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu....dst”.[5]
b.
Ahli-ahli tafsir meriwayatkan tentang sebab turunnya ayat
ini, yaitu bahwa dahulu perempuan merdeka dan hamba sahaya biasa keluar malam
untuk menunaikan hajat (buang air) di antara dinding-dinding dan pohon-pohon
kurma, tanpa ada (ciri-ciri) pembeda antara yang merdeka dan amat (dari segi
pakaian mereka), sedang pada waktu itu di Madinah banyak orang-orang fasiq yang
biasa mengganggu hamba-hamba perempuan (amat, jamak ima’) dan kadang-kadang
juga kepada perempuan-perempuan merdeka. Kalau mereka ditegur, mereka menjawab:
Kami hanya mengganggu hamba-hamba perempuan. Maka perempuan-perempuan merdeka
diperintah membedakan diri dalam hal pakaian dengan perempuan-perempuan amat,
agar mereka dihormati, disegani, dan tidak merangsang hasrat orang-orang yang
jiwanya berpenyakit (hidung belang).[6]
c.
Ibnu Jauzi menyatakan, sebab turunnya ayat ini adalah
bahwa orang-orang fasiq biasa mengganggu perempuan-perempuan pada waktu mereka
keluar malam, tetapi kalau mereka melihat perempuan-perempuan yang berjilbab
mereka enggan mengganggunya dan mereka berkata:
Ini perempuan merdeka! Dan apabila mereka melihat seorang perempuan
tanpa jilbab, mereka berucap, inilah amat! Lalu mereka mengganggunya. Kemudian
turunlah ayat mulia ini.[7]
Ø QS.
an-Nuur: 30-31
a.
Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib
ra., ia berkata: Seorang laki-laki di masa Rasulullah saw. Berjalan di sebuah
jalan di Madinah lalu ia melihat seorang perempuan dan perempuan itu juga
melihat kepadanya, kemudian keduanya dirayu syetan sehingga masing-masing tidak
melihat melainkan dengan rasa kagum; ketika laki-laki itu berjalan di tepi
sebuah dinding, ia pun terpancing pandangannya kepada perempuan itu dan
tiba-tiba mukanya menabrak dinding hingga patah hidungnya. Kemudian ia berucap:
Demi Allah aku tidak akan mencuci darah ini sampai aku datang kepada Nabi saw.
memberitahukan ihwalku ini. Lalu ia datang dan menceritakan apa yang ia alami,
lalu Nabi saw. bersabda: “Itulah hukuman dosamu!” Kemudian Allah menurunkan
firman-Nya: “Katakanlah kepada orang-orang mukmin: Hendaklah mereka menundukkan
sebagian pandangan mereka.....dst”.[8]
b.
Ibnu Katsir ra. meriwayatkan dari Muqatil bin Hayyan
dari Jabir bin Abdillah al-Anshari, ia berkata: Sampailah berita kepada kami –
Allah yang Mahatahu – bahwa Jabir bin Abdillah al-Anshari mengatakan bahwa
Asma’ binti Murtsid berada dalam kebun kurma Bani Haritsah kemudian
perempuan-perempuan pada masuk ke dalam kebun itu tanpa memakai kain panjang
sehingga tampak laki-laki mereka, yakni pergelangan kaki serta terlihat
dada-dada mereka. Maka Asma’ berkata: Alangkah buruknya ini! Kemudian Allah
menurunkan ayat: “dan katakanlah kepada orang-orang perempuan mukminah:
Hendaklah mereka menundukkan sebagian pandangan mereka dan memelihara kemaluan
mereka.....dst”.[9]
G.
Ahkam al-Syari’ah
Ø QS.
al-Ahzab: 59
Ayat
tersebut menunjukkan bahwa berjilbab diwajibkan atas seluruh
kaum wanita yang mukallaf (muslimah, balighah, dan merdeka). Adapun syarat
jilbab itu adalah: Bisa menutupi semua badan, tidak transparan, tidak terdapat
perhiasan sehingga mampu mengundang pandangan, dan tidak sempit atau ketat.
Ø QS.
an-Nuur: 30-31
a.
Hukum melihat perempuan yang bukan mahramnya
Syari’at
Islam mengharamkan melihat perempuan yang bukan mahramnya.
Maka tidak halal bagi laki-laki melihat perempuan yang bukan istrinya dan bukan
mahramnya. Adapun melihat yang sifatnya tiba-tiba, maka tidak berdosa karena
hal itu terjadi di luar keinginan. Dan Allah tidak akan membebani hamba-Nya
melakukan sesuatu di luar kemampuannya dan tidak menyuruh kita menutup mata
ketika kita lewat di jalan.[10]
Pandangan
tiba-tiba itu ialah pandangan pertama. Tidak boleh seseorang apabila melihat
perempuan secara tiba-tiba lalu merasa senang (nikmat) dan tertarik kemudian
mengulangi kedua kalinya, karena hal itu akan menimbulkan fitnah dan menjadi
wasilah ke arah fashiyah. Oleh nabi hal seperti itu disebutnya sebagai zinal
‘ain (zina mata).[11]
Menahan
pandangan dan menjaga kemaluan yang dimaksudkan dalam ayat di atas adalah
melihat sesuatu yang bisa menimbulkan syahwat (rangsangan birahi), sehingga
laki-laki atau perempuan tidak kuasa menahan nafsunya dan melakukan perbuatan
yang dilarang agama.[12]
Jadi apabila pandangan tersebut tidak menimbulkan sesuatu perbuatan yang
dilarang agama, tentunya diperbolehkan, dalam hal mu’amalah, ta’lim, dan
interaksi sosial lainnya terhadap manusia adalah diperbolehkan.
b.
Batas-batas aurat
Ulama’
fiqih sepakat bahwa membuka aurat adalah haram, namun mereka berbeda pendapat
mengenai batasan-batasannya. Menurut Ibnu Rusyd dan asy-Syaukani, semua
pendapat ulama’ mengenai batas aurat perempuan merujuk pada ayat ini. Perbedaan
pendapat muncul karena adanya perbedaan dalam menafsirkan frase illaa maa
zhahara minhaa (kecuali yang biasa tampak terbuka).[13]
Jumhurul
fuqaha’ berpendapat bahwa aurat laki-laki adalah apa yang ada di antara lutut
dan pusar sebagaimana diterangkan dalam hadis-hadis yang sah. Sedang Imam Malik
berpendapat bahwa paha bukan termasuk aurat. Nabi bersabda:
لَا يَنْظُرُ
الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلَا الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ
Artinya: “Laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki, dan perempuan tidak
boleh melihat aurat perempuan”. (HR.
Ahmad, Muslim, Abu Daud, dan Tirmidzi).
Adapun
aurat perempuan terhadap sesama perempuan adalah sama dengan aurat laki-laki
terhadap sesama laki-laki dari lutut sampai pusar. Selain itu boleh dilihat
kecuali bagi perempuan dzimiyah atau kafir.
Jika
tergolong mahram seperti ayah, saudara laki-laki, paman dari ayah dan paman dari
ibu, maka auratnya dari lutut hingga pusar. Jika orang lain, maka begitu juga
auratnya, dari lutut sampai pusar. Ada yang berpendapat bahwa seluruh tubuh
laki-laki adalah aurat sehingga tidak boleh dilihat oleh perempuan. Namun
pendapat yang lebih sah ialah pendapat yang pertama. Adapun suami terhadap
istri tidak ada lagi aurat secara mutlak, sebab Allah swt berfirman: “Kecuali
terhadap istri-istri mereka atau hamba-hamba yang mereka miliki, maka mereka
dalam hal ini tidak dicela.” (QS. al-Mukminun: 6), sedangkan aurat perempuan
terhadap laki-laki berdasarkan pendapat yang sah adalah seluruh anggota badan
perempuan adalah aurat.[14]
Golongan
Malikiyah dan Ahnaf berpendapat bahwa wajah dan telapak tangan tidak termasuk
aurat, pendapat ini berdasarkan dalil-dalil:
· وَلَا يُبْدِينَ
زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا, yang
dimaksud adalah wajah dan tapak tangan.[15]
· Hadis
yang diriwayatkan Aisyah
“Bahwa sesungguhnya
Asma’ binti Abu Bakar masuk ke rumah nabi sedang ia memakai pakaian yang tipis
kemudian nabi berpaling daripadanya seraya bersabda: “Hai Asma’ sesungguhnya
perempuan itu apabila telah baligh tidak
boleh terlihat daripadanya melainkan ini dan ini”. Nabi sambil menunjuk wajah
dan kedua telapak tangannya”. (HR. Abu Daud)[16]
Golongan
Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa tapak tangan dan wajah adalah aurat,
hal ini berdasarkan dalil-dalil:
· وَلَا يُبْدِينَ
زِينَتَهُنّ, “zinah” dalam ayat ini ada dua macam, yaitu: khalqiyah (alamiah)
dan muktasabah (buatan). Sedang wajah adalah adalah termasuk perhiasan yang
alamiah, adapun perhiasan buatan adalah apa saja yang diupayakan manusia,
seperti pakaian, perhiasan, celak, dan sebagainya. Dengan demikian ayat ini
melarang perempuan menampakkan perhiasannya secara mutlak.[17]
· Selanjutnya
mentakwilkan مَا ظَهَرَ
مِنْهَا. Bahwa yang
dimaksud ialah apa yang terlihat dengan tidak ada unsur kesengajaan seperti
tertiup angin sehingga betis, leher, atau sebagian badannya terbuka.
Kalangan ad-Dhahiri berpendapat bahwa dalam khitbah
diperbolehkan bagi pihak laki-laki untuk melihat seluruh bagian tubuh perempuan
tanpa terkecuali, hal ini didasarkan pada pemahaman hadis yang secara tekstual
memerintahkan untuk melihat perempuan yang diartikan melihat secara universal
tanpa ada batasan.
عن جابر بن عبدالله قال قال رسول الله اذاخطب احدكم المرءة فاناستطاع
ان ينظر الى ما يدعوه الى نكاحها فليفعل رواه ابن ماجه[18]
Dalam pandangan etika tentu saja hal ini sangatlah
melecehkan perempuan. Merujuk pada firman Allah surat an-Nuur ayat 31 yang
memerintahkan kepada mu’minat untuk senantiasa menjaga perhiasan yang ada pada
dirinya, maka melihat secara mutlak pada waktu khitbah oleh pihak laki-laki
adalah sesuatu yang tidak bisa diterapkan karena tidak adanya unsur
penghormatan terhadap perempuan.
[2]Muhammad Ali Ash-Shobuni, Rawaai’u al Bayan wa Tafsir al Ahkam,
Makkah : Daar al-Kuttub al-Islamiyyah, 2001, hlm. 117-118.
[4]Mu’ammal Hamidy dan Imron A. Manan, Terjemahan Ayat Ahkam Ash-Shabuni, 2008.Surabaya:Bina Ilmu Offset.
Hlm.633-636
[5]M. Quraish
Shihab, Wawasan al-Qur’an, Bandung: Mizan Pustaka, 2007, hlm. 227-228
[6] Muhammad Ali
al-Shobuny, Rawa’i al Bayan fi Tafsir al Ahkam Juz II, Beirut: Daar
al-Kutub al-Islamiyyah, 1999, hlm. 270
[7] Ibid
[9] Muhammad Ali
al-Shobuny, op.cit. hlm. 107 dikutip dari Ibnu Katsir Juz 3, hlm. 283
dan al-Durrul Mantsur Juz 5, hlm. 104
[10] Muammal
Hamidi, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ali Ash-Shabuni, Surabaya: Bina Ilmu,
2008, hlm. 637
[12] Sinta Nuriyah
dkk, Kembang Setaman Perkawinan (Analisis Kritis Kitab ‘Uqud al-Lujayn), Jakarta:
Kompas, 2005, hlm. 274
[13] Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid , Juz I, hlm. 83
[15] Ini adalah
pendapat sebagian sahabat Nabi dan tabi’in, Sa’id bin Jubair, Atha’, dan
Dhahaq.
[16] Lihat Tafsir
al-Qurthubi, hlm. 229
Tidak ada komentar:
Posting Komentar