A.
Pendahuluan
Islam merupakan konsep ajaran agama yang humanis, yaitu agama yang
mementingkan manusia sebagai tujuan sentral dengan mendasarkan pada konsep
“humanisme teosentrik”, yaitu poros Islam adalah tauhidullah yang diarahkan
untuk menciptakan kemaslahatan kehidupan dan peradaban umat manusia. Prinsip
humanisme teosentrik inilah yang akan ditranformasikan sebagai nilai yang
dihayati dan dilaksanakan dalam konteks masyarakat budaya. Dari sistem
humanisme teosentris inilah muncul simbol-simbol yang terbentuk karena proses
dialektika antara nilai agama dengan tata nilai budaya[1].
Menurut Akbar S. Ahmed, agama termasuk Islam harus dipandang dari
perspektif sosiologis sebagaimana yang dilakukan oleh Marx Weber, Emile Durkheim
dan Freud. Oleh karena itu, konsep “ilmu al-‘umran” atau ilmu kemasyarakatan
dalam perspektif Islam adalah suatu pandangan dunia (world view) bahwa manusia
merupakan sentralitas pribadi bermoral (moral person). Selama visi tentang
moral diderivasi dari konsepsi al-Qur’an dan Sunnah, maka diskursus
antropologis Islam mulai meneliti orisinalitas konsep-konsep al-Qur’an.[2]
Islam dan Jawa
merupakan dua entitas yang berbeda. Namun dalam kenyatannya keduanya dapat
hidup berdampingan secara damai. Masuknya Islam ke tanah Jawa terbukti tidak
menimbulkan berbagai konflik-konflik yang cukup berarti. Bahkan keduanya saling
terbuka untuk berinteraksi dan berinterelasi pada aspek seni, budaya, maupun
aspek-aspek sosial masyarakat lainnya.
B.
Sejarah dan Teori Masuknya Islam di Jawa
Masuknya islam di Jawa sampai sekarang masih menimbulkan hasil
telaah yang sangat beragam. Ada yang mengatakan islam masuk ke Jawa sebagaimana
islam datang ke sumatera, yang diyakini abad pertama Hijriyah atau abad ke-7
Masehi.[3]
Sejarah masuknya Islam di Indonesia melalui tahap teori dan babak –
babak yang penting sebelum Islam itu sendiri masuk kewilayah jawa. Menurut
Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya yang berjudul Menemukan Sejarah,
terdapat 3 teori mengenai proses masuk dan berkembangnya agama Islam di
Indonesia yaitu teori Gujarat, teori Makkah dan teori Persia. Ketiga teori
tersebut di atas memberikan jawaban tentang permasalah waktu masuknya Islam ke
Indonesia, asal negara dan tentang pelaku penyebar atau pembawa agama Islam ke
Nusantara khususnya Jawa.
1.
Teori
Gujarat
Pendukung
teori Gujarat adalah Snouck Hurgronje, WF Stutterheim dan Bernard H.M. Vlekke.
Snouck Hurgronje ketika memberi kuliah perpisahan di Universitas Leiden
mengatakan bahwa Sumatra dan Jawa mengenal Islam lewat kontak yang terjadi
dengan pedagang-pedagang dari india. Pedagang tersebut berinteraksi/bergaul
dengan masyarakat Indonesia. Pada kesempatan tersebut dipergunakan untuk
menyebarkan ajaran Islam. Selanjutnya diantara pe dagang tersebut ada yang
terus menetap, atau mendirikan perkampungan, seperti pedagang Gujarat
mendirikan perkampungan Pekojan.
Hal
ini juga bersumber dari keterangan Marcopolo dari Venesia (Italia) yang pernah
singgah di Perlak ( Perureula) tahun 1292. Ia menceritakan bahwa di Perlak sudah
banyak penduduk yang memeluk Islam dan banyak pedagang Islam dari India yang
menyebarkan ajaran Islam.
Teori
berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad 13 dan pembawanya
berasal dari Gujarat (Cambay), India. Dasar dari teori ini adalah:
a.
Kurangnya
fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam di Indonesia.
b.
Hubungan
dagang Indonesia dengan India telah lama melalui jalur Indonesia –Cambay –
Timur Tengah – Eropa.
c.
Adanya
batu nisan Sultan Samudra Pasai yaitu Malik Al Saleh tahun 1297 yang bercorak
khas Gujarat.
d.
Batu
nisan Malik Ibrahim berasal dari Gujarat.
John
F.Cady dalam bukunya South East Asia, Its Historical Background mendukung
pandangan ini atas dasar kenyataan adanya orang-orang Gujarat yang banyak
mendiami kawasan kota pelabuhan di pantai utara Jawa.[4]
2. Teori Makkah
Teori
ini merupakan teori baru yang muncul sebagai sanggahan terhadap teori lama
yaitu teori Gujarat. Teori Makkah berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia
pada abad ke 7 dan pembawanya berasal dari Arab (Mesir).
Dasar teori ini
adalah:
a.
Pada
abad ke 7 yaitu tahun 674 di pantai barat Sumatera sudah terdapat perkampungan
Islam (Arab); dengan pertimbangan bahwa pedagang Arab sudah mendirikan
perkampungan di Kanton sejak abad ke-4. Hal ini juga sesuai dengan berita Cina.
b.
Kerajaan
Samudra Pasai menganut aliran mazhab Syafi’i, dimana pengaruh mazhab Syafi’i
terbesar pada waktu itu adalah Mesir dan Mekkah. Sedangkan Gujarat/India adalah
penganut mazhab Hanafi.
c.
Raja-raja
Samudra Pasai menggunakan gelar Al malik, yaitu gelar tersebut berasal dari
Mesir.
Pendukung
teori Makkah ini adalah Hamka, Van Leur dan T.W. Arnold. Para ahli yang
mendukung teori ini menyatakan bahwa abad 13 sudah berdiri kekuasaan politik
Islam, jadi masuknya ke Indonesia terjadi jauh sebelumnya yaitu abad ke 7 dan
yang berperan besar terhadap proses penyebarannya adalah bangsa Arab sendiri.[5]
3. Teori Persia
Teori
ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia abad 13 dan pembawanya berasal
dari Persia (Iran).
Dasar
teori ini adalah kesamaan budaya Persia dengan budaya masyarakat Islam
Indonesia, di antaranya:
a.
Peringatan
10 Muharram atau Asyura atas meninggalnya Hasan dan Husein cucu Nabi Muhammad,
yang sangat di junjung oleh orang Syiah/Islam Iran. Di Sumatra Barat peringatan
tersebut disebut dengan upacara Tabuik/Tabut. Sedangkan di pulau Jawa ditandai
dengan pembuatan bubur Syuro.
b.
Kesamaan
ajaran Sufi yang dianut Syaikh Siti Jennar dengan sufi dari Iran yaitu Al –
Hallaj.
c.
Penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem
mengeja huruf Arab untuk tanda dan bunyi Harakat.
d.
Ditemukannya
makam Maulana Malik Ibrahim tahun 1419 di Gresik.
e.
Adanya
perkampungan Leren/Leran di Giri daerah Gresik. Leren adalah nama salah satu
Pendukung teori ini yaitu Umar Amir Husen dan P.A. Hussein Jayadiningrat.
Selain tiga teori di atas, ada juga literatur lain yang menerangkan
asal usul masuknya Islam di Jawa, yaitu:
a. Masuknya Islam ke Jawa melalui Kamboja. Pendapat ini berdasar
adanya hubungan antara kepulauan nusantara dengan kerajaan Campa. Pada tahun
1471 kerajaan tersebut mmengalami kekalahan dari orang-orang Vietnam utara
sehingga keluarga kerajaan mengungsi kewilayah Malaka. Dari sini mereka
kemudian melanjutkan perjalanan ke wilayah-wilayah kota pelabuhan di pantai
utara Jawa.[6]
b. Islam masuk ke wilayah Jawa berasal dari Cina. Pandangan ini
didasarkan cerita dari Jawa Timur yang berasal dari Serat Kanda yang menyatakan bahwa Raden Fatah adalah anak seorang
wanita Cina. Pada
abad ke-15 dan ke-16 telah terjalin Sino-Javanese Muslim Culture. Ukiran
padas di masjid kuno Mantingan-Jepara, menara masjid pecinaan Banten,
konstruksi pintu makam Sunan Giri di Gresik, arsitektur keraton Cirebon beserta
taman Sunyaragi, konstruksi masjid Demak—terutama soko tatal penyangga masjid
beserta lambang kura-kura, konstruksi masjid Sekayu di Semarang dan sebagainya,
semuanya menunjukkan pengaruh budaya Cina yang cukup kuat.[7]
c. Pandangan lain yang lebih bersifat merangkum teori-teori
di atas menyatakan bahwa asal-usul Islam dari para guru sufi yang dalam
perjalanan mereka ke wilayah nusantara dapat melalui lautan Hindia atau melalui
jalan sutera.[8]
Adapun teori-teori yang berkaitan dengan masuknya Islam di Jawa,
diantaranya[9]:
a)
Islam
sudah masuk ke wilayah Jawa semenjak abad XI atas dasar inkripsi di Leran
Gresik yang menjelaskan adanya seseorang yang bernama Fatimah binti Maimun,
yang wafat pada tahun 1082. Pandangan ini mengundang keberatan dan berbagai
kalangan karena diduga batu nisan tersebut dibawa masuk ke Jawa setelah tahun
yang tertera di dalamnya. Ricklefs lebih jauh menyatakan bahwa yang dikubur di
situ bukanlah orang Jawa tapi kemungkinannya adalah orang luar yang kebetulan
melancong ke Jawa dan meninggal di sana.
b)
Islam
sudah berada di Jawa semenjak abad XIV berdasarkan batu nisan yang terdapat di
Triwulan. Batu nisan tersebut menunjukkan tahun 1368 yang memberi indikasi
bahwa pada tahun itu sudah ada orang Jawa dari kalangan kerajaan yang memeluk
Islam atas perlindungan kalangan
kerajaan. Ini menunjukkan bahwa Islam telah melalui kawasan pesisir yang
kemudian ke wilayah pedalaman.
c)
Islam
sudah berada di Jawa pada abad XV berdasarkan batu nisan makam Maulana
Malik Ibrahim yang meninggal tahu 1419.
Beberapa pendapat mengatakan bahwa ia adalah seorang kaya berkebangsan Persia
yang bergerak di bidang perdagangan
rempah-rempah. Pandangan lain menyatakan bahwa ia adalah salah seorang
walisongo yang dianggap penyebar Islam di pulau Jawa.
Di antara bukti-bukti yang mengarah pada waktu masuknya Islam di
Jawa adalah sebagai berikut[10]:
1.
Makam
·
Batu
nisan kubur Fatimah binti Maemun di Leran Gresik yang meninggal pada tanggal 7
Rajab 475 H bertepatan dengan tanggal 1 Desember 1082 M.
·
Batu
nisan kubur Malik Ibrahim yang meninggal tanggal 12 Rabiul Awal 822 H,
bertepatan dengan tanggal 8 April 1419 M.
2.
Masjid
·
G.F.Pijper
menjelaskan bahwa ciri khas masjid di Jawa (masa kemudian setelah munculnya
kekuasaan politik Islam) ialag dibangun di sebelah alun-alun, sebuah lapangan
persegi yang ditanami rumput, dan terdapat hampir di semua kota kabupaten dan
kecamatan.[11]
3.
Ragam
Hias
·
Setelah
Islam diterima sebagai penuntun hidup yang baru, maka ragam hias baru pun mulai
bermunculan. Misalnya kaligrafi, stiliran atau penggayaan terhadap ragam hias
binatang, dan oranamen-ornamem yang bernilai Islami lainnya. Dapat diambil
contoh yaitu hiasan pada bagian panil relief di Mantingan dan Gapura B di
Sendangduwur.
4.
Tata
Kota
·
Ciri
yang melekat pada tata kota khas Islami yaitu kraton, alun-alun, masjid agung,
pasar, pemukiman penduduk, serta sarana pertahanan keamanan. Contoh kota-kota
yang memenuhi kriteria tersebut adalah kota Demak, Cirebon, Pajang, Banten, dan
Kota Gede.
C.
Pola dakwah yang dikembangkan
Dakwah Islam dilihat dari interaksinya dengan lingkungan sosial
budaya setempat, berkembang dua pendekatan, yaitu pendekatan yang
non-kompromis, dan pendekatan yang kompromis. Pendekat-an non-kompromis, yaitu
dakwah Islam dengan mempertahankan identitas-identitas agama, serta tidak mau
menerima budaya luar kecuali budaya tersebut seirama dengan ajaran Islam;
sedangkan pendekatan kompromis (akomodatif), yaitu suatu pendekatan yang
berusaha menciptakan suasana damai, penuh toleransi, sedia hidup berdampingan
dengan pengikut agama dan tradisi lain yang berbeda tanpa mengorbankan agama
dan tradisi agama masing-masing (cultural approach).
Menurut Uka Tjandrasasmita, saluran-saluran islamisasi yang
berkembang di Indonesia ada enam,[12]
yaitu:
1.
Saluran
Perdagangan
Pada sekitar
abad ke-7 hingga abad ke-16 para pedagang muslim (Arab, Persia dan India) turut
ambil bagian dalam perdagangan. Saluran islamisasi melalui jalur perdagangan
ini sangat menguntungkan karena para Raja dan bangsawan ikut serta dalam
perdagangan, bahkan mereka menjadi pemilik kapal dan saham. Mengutip pendapat
Tome Pires berkenaan dengan saluran islamisasi melalui jalur perdagangan ini
dipesisir pulau jawa, Uka Tjandrasasmita menyebutkan bahwa para pedagang Muslim
banyak yang bermukim di pesisir pulau Jawa yang penduduknya ketika itu masih
kafir. Mereka banyak mendirikan masjid dan mendatangkan mullah mullah dari luar
sehingga jumlah mereka menjadi banyak, dan karenanya anak-anak Muslim itu
menjadi orang jawa dan kaya-kaya.
2.
Saluran
Perkawinan
Dari sudut
ekonomi, para pedagang Muslim memiliki status social yang lebih baik daripada
kebanyakan pribumi, sehingga penduduk pribumi, terutama putrid-putri bangsawan
tertarik untuk menjadi istri saudagar saudagar itu. Sebelum kawin mereka
diislamkan terlebih dahulu, setelah mereka mempunyai keturunan maka lingkungan
mereka semakin luas, ahirnya timbul daerah daerah, kampong- kampong dan
kerajaan kerajaan muslim. Seperti halnya yang terjadi pada suan Ngampel dengan
Nyai Manila, Sunan Gunungjati dengan Putri Kawunganten, Brawijaya dengan putrid
Campa yang menurunkan Raden Patah (Raja pertama Demak).
3.
Saluran
Tasawuf
Pengajar-pengajar
tasawuf atau sufi, mengajarkan teosofi yang bercampur dengan ajaran yang sudah
dikenal luas oleh masyarakat tersebut. Mereka mahir dalam hal magis dan
kekuatan manyembuhkan. Dengan tasawuf, “bentuk” islam yang diajarkan kepada
penduduk pribumi mempunyai persamaan dengan alam pikiran mereka yang sebelumnya
menganut agama Hindu, sehingga agama baru itu mudah dimengerti dan diterima,
salah satu tokoh sufi yang menggunakan cara itu adalah sunan panggung di Jawa.
4.
Saluran
Pendidikan
Dalam hal
pendidikan yaitu dengan cara mendirikan pesantren maupun pondok yang diselenggarakan
oleh guru-guru agama, kiai-kiai, dan ulama-ulama. Seperti halnya pesantren yang
didirikan oleh Raden Rahmat di Ampel Denta Surabaya dan Sunan Giri di Giri yang
kemudian keluaran pesantren tersebut berdakwah didaerah masing-masing.
5.
Saluran
Kesenian
Saluran
islamisai melalui kesenian yang paling terkenal adalah pertunjukan wayang. Dan
cara inilah yang digunakan oleh sunan kalijaga dalam berdakwah, dia tidak
meminta upah dari penonton akan tetapi semua penonton disuruh mengikutinya
untuk mengucapkan kalimat syahadat. Kesenian lain juga dijadikan alat untuk
proses islamisasi seperti sastra (hikayat, babad dan sebagainya), seni bangunan
dan seni ukir.
6.
Saluran
Politik
Kebanyakan
rakyat masuk islam mengikuti para rajanya jadi yang dipegang pertama adalah
para rajanya terlebih dahulu dan kemudian demi kepentingan politik maka
kerajaan islam memerangi kerajaan non islam.
Tampaknya para wali di Jawa dalam berdakwah lebih memilih
pendekatan kompromistik mengingat latar-belakang sosiologis masyarakat Jawa yang
lengket tradisi nenek-moyang mereka. Para wali menyusupkan dakwah Islam di
kalangan masyarakat bawah melalui daerah pesisir yang jauh dari pengawasan
kerajaan Majapahit. Para wali dan segenap masyarakat pedesaan membangun tradisi
budaya baru melalui pesantren sebagai basis kekuatan. Kekuatan-kekuatan yang
digalang para wali pada akhirnya menandingi kekuatan wibawa kebesaran kerajaan
Jawa Hindu yang makin lama makin surut dan akhirnya runtuh.
Pergulatan antara Islam dengan budaya Jawa dapat kita temukan wujud
nyatanya pada gelar-gelar raja Islam yang dipinjam dari mistik Islam. Dalam
silsilah genealogis, meskipun raja-raja Jawa masih diklaim sebagai keturunan
dewa, tetapi akar genealogis teratas dilukiskan dalam konsep nur-roso dan
nur-cahyo. Menurut silsilah keraton, nur-roso dan nur-cahyo inilah yang
melahirkan Nabi Adam dan dewa-dewa sebagai kakek-moyang raja-raja Jawa. Istilah
nur-roso dan nur-cahyo walaupun konotasinya bersifat Jawa, namun substansinya
mengajarkan kepada konsep nur-Muhammad.[13]
Gambaran dari adanya akulturasi unsur Islam dan Jawa pada akhirnya
melahirkan budaya sintesis. Berikut ini sebuah sintesis yang terdapat dalam
kitab Babad Tanah Djawi (Sejarah Tanah Jawa) sebagai berikut:
Inilah sejarah kerajaan tanah Jawa, mulai dengan Nabi Adam yang
berputrakan Sis. Sis berputrakan Nur-cahyo, nur-cahyo berputrakan nur-rasa,
nur-rasa berputrakan sang hyang tunggal…. Istana batara guru disebut Sura laya
(nama taman firdaus Hindu).[14]
Dari kutipan naskah Babad Tanah Djawi di atas, tampak jelas adanya
akulturasi timbal-balik antara Islam dengan budaya Jawa dengan mengakomodir
kepentingan masing-masing. Dalam proses interaksi ini, masuknya Islam di Jawa
tidaklah membentuk komunitas baru yang sama sekali berbeda dengan masyarakat
sebelumnya. Sebaliknya, Islam mencoba untuk masuk ke dalam struktur budaya Jawa
dan mengadakan infiltrasi ajaran-ajaran kejawen dengan nuansa islami.
Pementasan wayang, sering disimbolkan sebagai gambaran kehidupan
manusia dalam menemukan Tuhannya. Lakon-lakon yang ditampilkan merupakan
ajaran-ajaran syari’at untuk membawa penonton pada nuansa yang religius. Oleh
karena itu, wayang dianggap sebagai bagian dari acara religius untuk
mengajarkan ajaran-ajaran ilahi. Seorang dalang dipersonifikasikan sebagai
‘Tuhan’ yang dapat memainkan peran dan nasib orang (wayang). Pelukisan ini
ditafsirkan secara ortodoks sebagai deskripsi puitis mengenai taqdir.[15]
Cara cara yang dipakai oleh para Wali dalam menghadapi budaya lama
(Hindu) yang masih melekat pada masyarakat jawa[16]
adalah sebagai berikut:
1.
Menjaga,
memelihara (keeping) upacara-upacara, tradisi-tradisi lama, contoh masih
menerima upacara tingkeban,mitoni;
2.
Menambah
(addition) upacara-upacara, tradisi-tradisi lama dengan tradisi-tradisi
baru, contoh, menambah perkawina jawa dengan akad nikah secara islam;
3.
Menginterpretasikan
tradisi lama kea rah pengertian yang baru atau menambah fungsi baru (modification)
terhadap budaya lama, contoh: wayang disamping sebagai sarana hiburan juga
sebagai sarana pendidikan;
4.
Menurunkan
tingkatan status atau kondisi sesuatu (devaluation) dari budaya lama,
contoh status Dewa dalam wayang diturunkan derajatnya dan diganti dengan Allah;
5.
Mengganti
(exchange) sebagian unsure lama dalam suatu tradisi dengan unsure baru,
contoh slametan atau gendurenan motivasinya diganti;
6.
Mengganti
secara keseluruhan (subtitution) tradisi lama dengan tradisi baru,
contoh sembahyang dikuil diganti dengan sembahyang dimasjid sehingga tidak ada
unsure pengaruh hindu dimasjid;
7.
Menciptakan
trades, upacara baru (creation of new ritual) dengan menggunakan unsure
lama, seperti penciptaan gamelan dan upacara skaten;
8.
Menolak
(negation) tradisi lama, seperti pengahancuran patung-patung Budha di
candi-candi sebagai penolakan terhadap penyembahan patung.
D.
Analisis
Bahwa Islam masuk di Jawa dengan cara damai yang
diawali dari rakyat jelata hingga lambat laun masuk ke tingkat istana. Orang
Jawa merespon dengan baik masuknya Islam ke Jawa. Karena Islam dengan mudah
bersosialisasi dengan masyarakat Jawa. Orang-orang jawa terpikat dengan ajaran
Islam yang mengenalkan ketauhidan atau keesaan Allah SWT. Islam bercampur
dengan budaya Jawa karena Islam ditujukan untuk mempermudah penyebaran
agamanya. Namun sampai saat ini budaya jawa masih melekat pada ajaran-ajaran
islam yang masih sebagian besar dianut oleh orang jawa.
Para walisongo mempunyai cara tersendiri dalam menyebarkan islam
dijawa, adakalanya yang menggunakan pertunjukan wayang sebagai ladang dakwah
dengan cara menyisipkan islam dalam cerita pewayangan, seperti cara yang
dilakukan oleh Sunan Kalijaga, bagi setiap orang yang menonton pertunjukan
wayang tersebut maka diwajibkan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Selain
itu karena notabenya masyarakat jawa sebelum islam masuk, mereka menganut
kepercayaan anemisme dan dinamisme,selain itu juga melekat ajaran Hindu pada
masyarakat jawa maka cara berdakwahpun dengan cara tidak menghilangkan budaya
tersebut hanya saja menyisipkan ajaran islam dalam ritual yang mereka lakukan,
seperti upacara mitoni (tujuh bulanan) bagi orang yang sedang hamil, gendurenan
dan lain-lain.
E.
Penutup
Demikianlah makalah tentang Masuknya Islam dan Pengaruhnya di
Jawa yang kami susun pada mata kuliah Islam dan Budaya Jawa. Tak
ada gading yang tak retak, kami menyadari bahwa tak ada yang sempurna, maka
kami mengharapkan kritik dan saran konstruktif dari pembaca, agar dapat lebih
baik di masa yang akan datang tentunya. Akhirnya, semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Daftar
Pustaka
Anasom
(ed), Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa, Yogyakarta: Gama Media,
2004
Badri Yatim, Sejarah Perdaban Islam, Jakarta: Rajawali pers, 2010
Darori Amin (ed), Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta:
Gama Media, 2000,
G.F.Pijper, 1985, Beberapa Studi Tentang
Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950, Tudjimah:UI-Press
Hasan
Muarif Ambary, Menemukan Peradaban (Jejak
Arkeologis dan Historis Islam Indonesia), Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 1998
Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi
(Bandung: Mizan, 1996),
Sumanto Al Qurtuby, 2003, Arus Cina-Islam-Jawa; Bongkar Sejarah Atas Peranan Tionghoa Dalam
Penyebaran Agama Islam Di Nusantara Abad XV&XVI
M. Sirozi, ‘Pergumulan
Pemikiran dan Agenda Masa Depan Islamisasi Antropologi’, Jurnal Ulumul
Qur’an, No. 4 / 1992
P.J. Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti, Pantheisme dan Monisme dalam Sastra
Suluk Jawa, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990
W.L. Olthoff, Babad
Tanah Jawi (mulai dari Nabi Adam sampai Tahun 1647), Yogyakarta:
Narasi, 2007
[1] Kuntowijoyo, Paradigma
Islam, Interpretasi untuk Aksi, Bandung: Mizan, 1996, Hlm.160
[2] M. Sirozi, Pergumulan
Pemikiran dan Agenda Masa Depan Islamisasi Antropolog, Jurnal Ulumul
Qur’an, No. 4 / 1992, Hlm. 15.
[3] Hasan
Muarif Ambary, Menemukan Peradaban (Jejak
Arkeologis dan Historis Islam Indonesia), Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 1998, Hlm.98
[4] Darori Amin
(ed), Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000, Hlm.159
[5] Ibid
[6] ibid. Hlm.160
[7]
Lihat Sumanto Al
Qurtuby, 2003, Arus Cina-Islam-Jawa;
Bongkar Sejarah Atas Peranan Tionghoa Dalam Penyebaran Agama Islam Di Nusantara
Abad XV&XVI
[8] Darori Amin
(ed), Op.cit
[9] Darori
Amin (ed), Loc.cit , Hlm.158-159
[10] Darori Amin
(ed), Loc.cit, Hlm. 28
[11] G.F.Pijper,
1985, Beberapa Studi Tentang Sejarah
Islam di Indonesia 1900-1950, Tudjimah:UI-Press, Hlm.16
[12] Dr. Badri
Yatim, M.A, Sejarah Perdaban Islam, Jakarta: Rajawali pers, 2010, Hlm.
201
[13] Darori Amin
(ed) Loc.cit. Hlm 231
[14] W.L. Olthoff, Babad
Tanah Jawi (mulai dari Nabi Adam sampai Tahun 1647), Yogyakarta:
Narasi, 2007, Hlm. 7
[15] P.J.
Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti, Pantheisme dan Monisme dalam Sastra
Suluk Jawa (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990), Hlm. 285.
[16] Anasom (ed), Merumuskan
Kembali Interelasi Islam-Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2004, Hlm. 11
Sejarah juga mencatat bahwa raden fatah telah mengkudeta ayah kandungnya Brawijaya V raja majapahit dan di tanah sunda ada sunan gunung jati yg mengkudeta kakeknya Prabu Siliwangi raja pajajaran. Apakah dengan perang dan penaklukan Islam disebarkan di tanah jawa dan tanah sunda?? Karena sejarah Indonesia mencatat itu semua.
BalasHapus