Recent Posts

“Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.” (QS. al-Anbiya’: 7)

Selasa, 23 April 2013

Masuknya Islam dan Pengaruhnya di Jawa




A.    Pendahuluan
Islam merupakan konsep ajaran agama yang humanis, yaitu agama yang mementingkan manusia sebagai tujuan sentral dengan mendasarkan pada konsep “humanisme teosentrik”, yaitu poros Islam adalah tauhidullah yang diarahkan untuk menciptakan kemaslahatan kehidupan dan peradaban umat manusia. Prinsip humanisme teosentrik inilah yang akan ditranformasikan sebagai nilai yang dihayati dan dilaksanakan dalam konteks masyarakat budaya. Dari sistem humanisme teosentris inilah muncul simbol-simbol yang terbentuk karena proses dialektika antara nilai agama dengan tata nilai budaya[1].
Menurut Akbar S. Ahmed, agama termasuk Islam harus dipandang dari perspektif sosiologis sebagaimana yang dilakukan oleh Marx Weber, Emile Durkheim dan Freud. Oleh karena itu, konsep “ilmu al-‘umran” atau ilmu kemasyarakatan dalam perspektif Islam adalah suatu pandangan dunia (world view) bahwa manusia merupakan sentralitas pribadi bermoral (moral person). Selama visi tentang moral diderivasi dari konsepsi al-Qur’an dan Sunnah, maka diskursus antropologis Islam mulai meneliti orisinalitas konsep-konsep al-Qur’an.[2]
Islam dan Jawa merupakan dua entitas yang berbeda. Namun dalam kenyatannya keduanya dapat hidup berdampingan secara damai. Masuknya Islam ke tanah Jawa terbukti tidak menimbulkan berbagai konflik-konflik yang cukup berarti. Bahkan keduanya saling terbuka untuk berinteraksi dan berinterelasi pada aspek seni, budaya, maupun aspek-aspek sosial masyarakat lainnya.




B.     Sejarah dan Teori Masuknya Islam di Jawa
Masuknya islam di Jawa sampai sekarang masih menimbulkan hasil telaah yang sangat beragam. Ada yang mengatakan islam masuk ke Jawa sebagaimana islam datang ke sumatera, yang diyakini abad pertama Hijriyah atau abad ke-7 Masehi.[3]
Sejarah masuknya Islam di Indonesia melalui tahap teori dan babak – babak yang penting sebelum Islam itu sendiri masuk kewilayah jawa. Menurut Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya yang berjudul Menemukan Sejarah, terdapat 3 teori mengenai proses masuk dan berkembangnya agama Islam di Indonesia yaitu teori Gujarat, teori Makkah dan teori Persia. Ketiga teori tersebut di atas memberikan jawaban tentang permasalah waktu masuknya Islam ke Indonesia, asal negara dan tentang pelaku penyebar atau pembawa agama Islam ke Nusantara khususnya Jawa.
1.      Teori Gujarat
Pendukung teori Gujarat adalah Snouck Hurgronje, WF Stutterheim dan Bernard H.M. Vlekke. Snouck Hurgronje ketika memberi kuliah perpisahan di Universitas Leiden mengatakan bahwa Sumatra dan Jawa mengenal Islam lewat kontak yang terjadi dengan pedagang-pedagang dari india. Pedagang tersebut berinteraksi/bergaul dengan masyarakat Indonesia. Pada kesempatan tersebut dipergunakan untuk menyebarkan ajaran Islam. Selanjutnya diantara pe dagang tersebut ada yang terus menetap, atau mendirikan perkampungan, seperti pedagang Gujarat mendirikan perkampungan Pekojan.
Hal ini juga bersumber dari keterangan Marcopolo dari Venesia (Italia) yang pernah singgah di Perlak ( Perureula) tahun 1292. Ia menceritakan bahwa di Perlak sudah banyak penduduk yang memeluk Islam dan banyak pedagang Islam dari India yang menyebarkan ajaran Islam.
Teori berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad 13 dan pembawanya berasal dari Gujarat (Cambay), India. Dasar dari teori ini adalah:
a.       Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam di Indonesia.
b.      Hubungan dagang Indonesia dengan India telah lama melalui jalur Indonesia –Cambay – Timur Tengah – Eropa.
c.       Adanya batu nisan Sultan Samudra Pasai yaitu Malik Al Saleh tahun 1297 yang bercorak khas Gujarat.
d.      Batu nisan Malik Ibrahim berasal dari Gujarat.
John F.Cady dalam bukunya South East Asia, Its Historical Background mendukung pandangan ini atas dasar kenyataan adanya orang-orang Gujarat yang banyak mendiami kawasan kota pelabuhan di pantai utara Jawa.[4]
2.      Teori Makkah
Teori ini merupakan teori baru yang muncul sebagai sanggahan terhadap teori lama yaitu teori Gujarat. Teori Makkah berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 7 dan pembawanya berasal dari Arab (Mesir).
Dasar teori ini adalah:
a.    Pada abad ke 7 yaitu tahun 674 di pantai barat Sumatera sudah terdapat perkampungan Islam (Arab); dengan pertimbangan bahwa pedagang Arab sudah mendirikan perkampungan di Kanton sejak abad ke-4. Hal ini juga sesuai dengan berita Cina.
b.   Kerajaan Samudra Pasai menganut aliran mazhab Syafi’i, dimana pengaruh mazhab Syafi’i terbesar pada waktu itu adalah Mesir dan Mekkah. Sedangkan Gujarat/India adalah penganut mazhab Hanafi.
c.    Raja-raja Samudra Pasai menggunakan gelar Al malik, yaitu gelar tersebut berasal dari Mesir.
Pendukung teori Makkah ini adalah Hamka, Van Leur dan T.W. Arnold. Para ahli yang mendukung teori ini menyatakan bahwa abad 13 sudah berdiri kekuasaan politik Islam, jadi masuknya ke Indonesia terjadi jauh sebelumnya yaitu abad ke 7 dan yang berperan besar terhadap proses penyebarannya adalah bangsa Arab sendiri.[5]
3.      Teori Persia
Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia abad 13 dan pembawanya berasal dari Persia (Iran).
Dasar teori ini adalah kesamaan budaya Persia dengan budaya masyarakat Islam Indonesia, di antaranya:
a.    Peringatan 10 Muharram atau Asyura atas meninggalnya Hasan dan Husein cucu Nabi Muhammad, yang sangat di junjung oleh orang Syiah/Islam Iran. Di Sumatra Barat peringatan tersebut disebut dengan upacara Tabuik/Tabut. Sedangkan di pulau Jawa ditandai dengan pembuatan bubur Syuro.
b.   Kesamaan ajaran Sufi yang dianut Syaikh Siti Jennar dengan sufi dari Iran yaitu Al – Hallaj.
c.     Penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab untuk tanda dan bunyi Harakat.
d.   Ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim tahun 1419 di Gresik.
e.    Adanya perkampungan Leren/Leran di Giri daerah Gresik. Leren adalah nama salah satu Pendukung teori ini yaitu Umar Amir Husen dan P.A. Hussein Jayadiningrat.

Selain tiga teori di atas, ada juga literatur lain yang menerangkan asal usul masuknya Islam di Jawa, yaitu:
a.       Masuknya Islam ke Jawa melalui Kamboja. Pendapat ini berdasar adanya hubungan antara kepulauan nusantara dengan kerajaan Campa. Pada tahun 1471 kerajaan tersebut mmengalami kekalahan dari orang-orang Vietnam utara sehingga keluarga kerajaan mengungsi kewilayah Malaka. Dari sini mereka kemudian melanjutkan perjalanan ke wilayah-wilayah kota pelabuhan di pantai utara Jawa.[6]
b.      Islam masuk ke wilayah Jawa berasal dari Cina. Pandangan ini didasarkan cerita dari Jawa Timur yang berasal dari Serat Kanda yang menyatakan bahwa Raden Fatah adalah anak seorang wanita Cina. Pada abad ke-15 dan ke-16 telah terjalin Sino-Javanese Muslim Culture. Ukiran padas di masjid kuno Mantingan-Jepara, menara masjid pecinaan Banten, konstruksi pintu makam Sunan Giri di Gresik, arsitektur keraton Cirebon beserta taman Sunyaragi, konstruksi masjid Demak—terutama soko tatal penyangga masjid beserta lambang kura-kura, konstruksi masjid Sekayu di Semarang dan sebagainya, semuanya menunjukkan pengaruh budaya Cina yang cukup kuat.[7]
c.       Pandangan lain yang lebih bersifat merangkum teori-teori di atas menyatakan bahwa asal-usul Islam dari para guru sufi yang dalam perjalanan mereka ke wilayah nusantara dapat melalui lautan Hindia atau melalui jalan sutera.[8]
Adapun teori-teori yang berkaitan dengan masuknya Islam di Jawa, diantaranya[9]:
a)      Islam sudah masuk ke wilayah Jawa semenjak abad XI atas dasar inkripsi di Leran Gresik yang menjelaskan adanya seseorang yang bernama Fatimah binti Maimun, yang wafat pada tahun 1082. Pandangan ini mengundang keberatan dan berbagai kalangan karena diduga batu nisan tersebut dibawa masuk ke Jawa setelah tahun yang tertera di dalamnya. Ricklefs lebih jauh menyatakan bahwa yang dikubur di situ bukanlah orang Jawa tapi kemungkinannya adalah orang luar yang kebetulan melancong  ke Jawa dan meninggal di sana.
b)      Islam sudah berada di Jawa semenjak abad XIV berdasarkan batu nisan yang terdapat di Triwulan. Batu nisan tersebut menunjukkan tahun 1368 yang memberi indikasi bahwa pada tahun itu sudah ada orang Jawa dari kalangan kerajaan yang memeluk Islam atas perlindungan kalangan  kerajaan. Ini menunjukkan bahwa Islam telah melalui kawasan pesisir yang kemudian ke wilayah pedalaman.
c)      Islam sudah berada di Jawa pada abad XV berdasarkan batu nisan makam Maulana Malik  Ibrahim yang meninggal tahu 1419. Beberapa pendapat mengatakan bahwa ia adalah seorang kaya berkebangsan Persia yang bergerak di  bidang perdagangan rempah-rempah. Pandangan lain menyatakan bahwa ia adalah salah seorang walisongo yang dianggap penyebar Islam di pulau Jawa.
Di antara bukti-bukti yang mengarah pada waktu masuknya Islam di Jawa adalah sebagai berikut[10]:
1.      Makam
·      Batu nisan kubur Fatimah binti Maemun di Leran Gresik yang meninggal pada tanggal 7 Rajab 475 H bertepatan dengan tanggal 1 Desember 1082 M.
·      Batu nisan kubur Malik Ibrahim yang meninggal tanggal 12 Rabiul Awal 822 H, bertepatan dengan tanggal 8 April 1419 M.
2.      Masjid
·      G.F.Pijper menjelaskan bahwa ciri khas masjid di Jawa (masa kemudian setelah munculnya kekuasaan politik Islam) ialag dibangun di sebelah alun-alun, sebuah lapangan persegi yang ditanami rumput, dan terdapat hampir di semua kota kabupaten dan kecamatan.[11]
3.      Ragam Hias
·      Setelah Islam diterima sebagai penuntun hidup yang baru, maka ragam hias baru pun mulai bermunculan. Misalnya kaligrafi, stiliran atau penggayaan terhadap ragam hias binatang, dan oranamen-ornamem yang bernilai Islami lainnya. Dapat diambil contoh yaitu hiasan pada bagian panil relief di Mantingan dan Gapura B di Sendangduwur.
4.      Tata Kota
·      Ciri yang melekat pada tata kota khas Islami yaitu kraton, alun-alun, masjid agung, pasar, pemukiman penduduk, serta sarana pertahanan keamanan. Contoh kota-kota yang memenuhi kriteria tersebut adalah kota Demak, Cirebon, Pajang, Banten, dan Kota Gede.
C.    Pola dakwah yang dikembangkan
Dakwah Islam dilihat dari interaksinya dengan lingkungan sosial budaya setempat, berkembang dua pendekatan, yaitu pendekatan yang non-kompromis, dan pendekatan yang kompromis. Pendekat-an non-kompromis, yaitu dakwah Islam dengan mempertahankan identitas-identitas agama, serta tidak mau menerima budaya luar kecuali budaya tersebut seirama dengan ajaran Islam; sedangkan pendekatan kompromis (akomodatif), yaitu suatu pendekatan yang berusaha menciptakan suasana damai, penuh toleransi, sedia hidup berdampingan dengan pengikut agama dan tradisi lain yang berbeda tanpa mengorbankan agama dan tradisi agama masing-masing (cultural approach).
Menurut Uka Tjandrasasmita, saluran-saluran islamisasi yang berkembang di Indonesia ada enam,[12] yaitu:
1.      Saluran Perdagangan
Pada sekitar abad ke-7 hingga abad ke-16 para pedagang muslim (Arab, Persia dan India) turut ambil bagian dalam perdagangan. Saluran islamisasi melalui jalur perdagangan ini sangat menguntungkan karena para Raja dan bangsawan ikut serta dalam perdagangan, bahkan mereka menjadi pemilik kapal dan saham. Mengutip pendapat Tome Pires berkenaan dengan saluran islamisasi melalui jalur perdagangan ini dipesisir pulau jawa, Uka Tjandrasasmita menyebutkan bahwa para pedagang Muslim banyak yang bermukim di pesisir pulau Jawa yang penduduknya ketika itu masih kafir. Mereka banyak mendirikan masjid dan mendatangkan mullah mullah dari luar sehingga jumlah mereka menjadi banyak, dan karenanya anak-anak Muslim itu menjadi orang jawa dan kaya-kaya.
2.      Saluran Perkawinan
Dari sudut ekonomi, para pedagang Muslim memiliki status social yang lebih baik daripada kebanyakan pribumi, sehingga penduduk pribumi, terutama putrid-putri bangsawan tertarik untuk menjadi istri saudagar saudagar itu. Sebelum kawin mereka diislamkan terlebih dahulu, setelah mereka mempunyai keturunan maka lingkungan mereka semakin luas, ahirnya timbul daerah daerah, kampong- kampong dan kerajaan kerajaan muslim. Seperti halnya yang terjadi pada suan Ngampel dengan Nyai Manila, Sunan Gunungjati dengan Putri Kawunganten, Brawijaya dengan putrid Campa yang menurunkan Raden Patah (Raja pertama Demak).
3.      Saluran Tasawuf
Pengajar-pengajar tasawuf atau sufi, mengajarkan teosofi yang bercampur dengan ajaran yang sudah dikenal luas oleh masyarakat tersebut. Mereka mahir dalam hal magis dan kekuatan manyembuhkan. Dengan tasawuf, “bentuk” islam yang diajarkan kepada penduduk pribumi mempunyai persamaan dengan alam pikiran mereka yang sebelumnya menganut agama Hindu, sehingga agama baru itu mudah dimengerti dan diterima, salah satu tokoh sufi yang menggunakan cara itu adalah sunan panggung di Jawa.
4.      Saluran Pendidikan
Dalam hal pendidikan yaitu dengan cara mendirikan pesantren maupun pondok yang diselenggarakan oleh guru-guru agama, kiai-kiai, dan ulama-ulama. Seperti halnya pesantren yang didirikan oleh Raden Rahmat di Ampel Denta Surabaya dan Sunan Giri di Giri yang kemudian keluaran pesantren tersebut berdakwah didaerah masing-masing.


5.      Saluran Kesenian
Saluran islamisai melalui kesenian yang paling terkenal adalah pertunjukan wayang. Dan cara inilah yang digunakan oleh sunan kalijaga dalam berdakwah, dia tidak meminta upah dari penonton akan tetapi semua penonton disuruh mengikutinya untuk mengucapkan kalimat syahadat. Kesenian lain juga dijadikan alat untuk proses islamisasi seperti sastra (hikayat, babad dan sebagainya), seni bangunan dan seni ukir.
6.      Saluran Politik
Kebanyakan rakyat masuk islam mengikuti para rajanya jadi yang dipegang pertama adalah para rajanya terlebih dahulu dan kemudian demi kepentingan politik maka kerajaan islam memerangi kerajaan non islam.

Tampaknya para wali di Jawa dalam berdakwah lebih memilih pendekatan kompromistik mengingat latar-belakang sosiologis masyarakat Jawa yang lengket tradisi nenek-moyang mereka. Para wali menyusupkan dakwah Islam di kalangan masyarakat bawah melalui daerah pesisir yang jauh dari pengawasan kerajaan Majapahit. Para wali dan segenap masyarakat pedesaan membangun tradisi budaya baru melalui pesantren sebagai basis kekuatan. Kekuatan-kekuatan yang digalang para wali pada akhirnya menandingi kekuatan wibawa kebesaran kerajaan Jawa Hindu yang makin lama makin surut dan akhirnya runtuh.
Pergulatan antara Islam dengan budaya Jawa dapat kita temukan wujud nyatanya pada gelar-gelar raja Islam yang dipinjam dari mistik Islam. Dalam silsilah genealogis, meskipun raja-raja Jawa masih diklaim sebagai keturunan dewa, tetapi akar genealogis teratas dilukiskan dalam konsep nur-roso dan nur-cahyo. Menurut silsilah keraton, nur-roso dan nur-cahyo inilah yang melahirkan Nabi Adam dan dewa-dewa sebagai kakek-moyang raja-raja Jawa. Istilah nur-roso dan nur-cahyo walaupun konotasinya bersifat Jawa, namun substansinya mengajarkan kepada konsep nur-Muhammad.[13]
Gambaran dari adanya akulturasi unsur Islam dan Jawa pada akhirnya melahirkan budaya sintesis. Berikut ini sebuah sintesis yang terdapat dalam kitab Babad Tanah Djawi (Sejarah Tanah Jawa) sebagai berikut:
Inilah sejarah kerajaan tanah Jawa, mulai dengan Nabi Adam yang berputrakan Sis. Sis berputrakan Nur-cahyo, nur-cahyo berputrakan nur-rasa, nur-rasa berputrakan sang hyang tunggal…. Istana batara guru disebut Sura laya (nama taman firdaus Hindu).[14]
Dari kutipan naskah Babad Tanah Djawi di atas, tampak jelas adanya akulturasi timbal-balik antara Islam dengan budaya Jawa dengan mengakomodir kepentingan masing-masing. Dalam proses interaksi ini, masuknya Islam di Jawa tidaklah membentuk komunitas baru yang sama sekali berbeda dengan masyarakat sebelumnya. Sebaliknya, Islam mencoba untuk masuk ke dalam struktur budaya Jawa dan mengadakan infiltrasi ajaran-ajaran kejawen dengan nuansa islami.
Pementasan wayang, sering disimbolkan sebagai gambaran kehidupan manusia dalam menemukan Tuhannya. Lakon-lakon yang ditampilkan merupakan ajaran-ajaran syari’at untuk membawa penonton pada nuansa yang religius. Oleh karena itu, wayang dianggap sebagai bagian dari acara religius untuk mengajarkan ajaran-ajaran ilahi. Seorang dalang dipersonifikasikan sebagai ‘Tuhan’ yang dapat memainkan peran dan nasib orang (wayang). Pelukisan ini ditafsirkan secara ortodoks sebagai deskripsi puitis mengenai taqdir.[15]
Cara cara yang dipakai oleh para Wali dalam menghadapi budaya lama (Hindu) yang masih melekat pada masyarakat jawa[16] adalah sebagai berikut:
1.      Menjaga, memelihara (keeping) upacara-upacara, tradisi-tradisi lama, contoh masih menerima upacara tingkeban,mitoni;
2.      Menambah (addition) upacara-upacara, tradisi-tradisi lama dengan tradisi-tradisi baru, contoh, menambah perkawina jawa dengan akad nikah secara islam;
3.      Menginterpretasikan tradisi lama kea rah pengertian yang baru atau menambah fungsi baru (modification) terhadap budaya lama, contoh: wayang disamping sebagai sarana hiburan juga sebagai sarana pendidikan;
4.      Menurunkan tingkatan status atau kondisi sesuatu (devaluation) dari budaya lama, contoh status Dewa dalam wayang diturunkan derajatnya dan diganti dengan Allah;
5.      Mengganti (exchange) sebagian unsure lama dalam suatu tradisi dengan unsure baru, contoh slametan atau gendurenan motivasinya diganti;
6.      Mengganti secara keseluruhan (subtitution) tradisi lama dengan tradisi baru, contoh sembahyang dikuil diganti dengan sembahyang dimasjid sehingga tidak ada unsure pengaruh hindu dimasjid;
7.      Menciptakan trades, upacara baru (creation of new ritual) dengan menggunakan unsure lama, seperti penciptaan gamelan dan upacara skaten;
8.      Menolak (negation) tradisi lama, seperti pengahancuran patung-patung Budha di candi-candi sebagai penolakan terhadap penyembahan patung.
D.    Analisis
Bahwa Islam masuk di Jawa dengan cara damai yang diawali dari rakyat jelata hingga lambat laun masuk ke tingkat istana. Orang Jawa merespon dengan baik masuknya Islam ke Jawa. Karena Islam dengan mudah bersosialisasi dengan masyarakat Jawa. Orang-orang jawa terpikat dengan ajaran Islam yang mengenalkan ketauhidan atau keesaan Allah SWT. Islam bercampur dengan budaya Jawa karena Islam ditujukan untuk mempermudah penyebaran agamanya. Namun sampai saat ini budaya jawa masih melekat pada ajaran-ajaran islam yang masih sebagian besar dianut oleh orang jawa.
Para walisongo mempunyai cara tersendiri dalam menyebarkan islam dijawa, adakalanya yang menggunakan pertunjukan wayang sebagai ladang dakwah dengan cara menyisipkan islam dalam cerita pewayangan, seperti cara yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga, bagi setiap orang yang menonton pertunjukan wayang tersebut maka diwajibkan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Selain itu karena notabenya masyarakat jawa sebelum islam masuk, mereka menganut kepercayaan anemisme dan dinamisme,selain itu juga melekat ajaran Hindu pada masyarakat jawa maka cara berdakwahpun dengan cara tidak menghilangkan budaya tersebut hanya saja menyisipkan ajaran islam dalam ritual yang mereka lakukan, seperti upacara mitoni (tujuh bulanan) bagi orang yang sedang hamil, gendurenan dan lain-lain.
E.     Penutup
Demikianlah makalah tentang Masuknya Islam dan Pengaruhnya di Jawa yang kami susun pada mata kuliah Islam dan Budaya Jawa. Tak ada gading yang tak retak, kami menyadari bahwa tak ada yang sempurna, maka kami mengharapkan kritik dan saran konstruktif dari pembaca, agar dapat lebih baik di masa yang akan datang tentunya. Akhirnya, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.












Daftar Pustaka
Anasom (ed), Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2004
Badri Yatim, Sejarah Perdaban Islam, Jakarta: Rajawali pers, 2010
Darori Amin (ed), Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000,
G.F.Pijper, 1985, Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950, Tudjimah:UI-Press
Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban (Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia), Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 1998
Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1996),
Sumanto Al Qurtuby, 2003, Arus Cina-Islam-Jawa; Bongkar Sejarah Atas Peranan Tionghoa Dalam Penyebaran Agama Islam Di Nusantara Abad XV&XVI
M. Sirozi, ‘Pergumulan Pemikiran dan Agenda Masa Depan Islamisasi Antropologi’, Jurnal Ulumul Qur’an, No. 4 / 1992
P.J. Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti, Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990
W.L. Olthoff, Babad Tanah Jawi (mulai dari Nabi Adam sampai Tahun 1647), Yogyakarta: Narasi, 2007



[1] Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi, Bandung: Mizan, 1996, Hlm.160
[2] M. Sirozi, Pergumulan Pemikiran dan Agenda Masa Depan Islamisasi Antropolog, Jurnal Ulumul Qur’an, No. 4 / 1992, Hlm. 15.
[3] Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban (Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia), Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 1998, Hlm.98

[4] Darori Amin (ed), Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000, Hlm.159
[5] Ibid
[6] ibid. Hlm.160
[7] Lihat Sumanto Al Qurtuby, 2003, Arus Cina-Islam-Jawa; Bongkar Sejarah Atas Peranan Tionghoa Dalam Penyebaran Agama Islam Di Nusantara Abad XV&XVI
[8] Darori Amin (ed), Op.cit
[9] Darori Amin (ed), Loc.cit , Hlm.158-159
[10] Darori Amin (ed), Loc.cit, Hlm. 28
[11] G.F.Pijper, 1985, Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950, Tudjimah:UI-Press, Hlm.16
[12] Dr. Badri Yatim, M.A, Sejarah Perdaban Islam, Jakarta: Rajawali pers, 2010, Hlm. 201
[13] Darori Amin (ed) Loc.cit. Hlm 231
[14] W.L. Olthoff, Babad Tanah Jawi (mulai dari Nabi Adam sampai Tahun 1647), Yogyakarta: Narasi, 2007, Hlm. 7
[15] P.J. Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti, Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990), Hlm. 285.
[16] Anasom (ed), Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2004, Hlm. 11

1 komentar:

  1. Sejarah juga mencatat bahwa raden fatah telah mengkudeta ayah kandungnya Brawijaya V raja majapahit dan di tanah sunda ada sunan gunung jati yg mengkudeta kakeknya Prabu Siliwangi raja pajajaran. Apakah dengan perang dan penaklukan Islam disebarkan di tanah jawa dan tanah sunda?? Karena sejarah Indonesia mencatat itu semua.

    BalasHapus